Ada di RI, Ini Senjata Terkuat China dalam Perang Dagang Lawan AS

1 day ago 6
Daftar Isi

Jakarta, CNBC Indonesia - Dalam upaya mencari titik temu di tengah perang dagang yang makin intens, China memainkan salah satu kartu terkuatnya: dominasi global atas industri logam tanah jarang atau rare earth. Elemen vital ini menjadi sorotan utama dalam negosiasi perdagangan terbaru antara Beijing dan Washington.

Logam tanah jarang - yang digunakan dalam berbagai produk seperti kendaraan listrik, turbin angin, perangkat keras, dan sistem senjata canggih - telah berubah menjadi senjata strategis di tengah eskalasi ketegangan perdagangan antara dua raksasa ekonomi dunia.

"Timur Tengah punya minyak. China punya rare earth," ujar Deng Xiaoping, pemimpin reformasi ekonomi China, pada 1992.

Ungkapan itu kini kembali relevan ketika China menguasai 92% output logam tanah jarang yang telah dimurnikan di dunia, menurut Badan Energi Internasional (IEA).

Sejak awal April, Beijing mulai mewajibkan eksportir logam tanah jarang untuk mengajukan lisensi ekspor bagi tujuh jenis elemen penting dan magnet terkait. Langkah ini secara luas dipandang sebagai respons terhadap tarif AS.

Aturan tersebut dinilai kompleks dan lambat oleh pelaku industri, memperlambat aliran bahan baku vital ke berbagai pabrikan di dunia.

Akibatnya, pasokan logam tanah jarang ke luar negeri melambat drastis, termasuk ke pabrik-pabrik di Amerika Serikat. Dampaknya terasa nyata, termasuk pada raksasa otomotif AS, Ford, yang terpaksa menghentikan sementara produksi SUV Explorer akibat gangguan pasokan.

"Isu logam tanah jarang secara jelas telah mendominasi bagian lain dari negosiasi perdagangan karena adanya penghentian produksi di pabrik-pabrik AS," ujar Paul Triolo, pakar teknologi di Asia Society Policy Institute, dikuitp dari AFP, Rabu (11/6/2025).

"Kejadian ini benar-benar menarik perhatian Gedung Putih," tambahnya.

Kompromi

Meski ada tekanan internasional, Kementerian Perdagangan China pada akhir pekan lalu menyatakan bahwa sebagai "negara besar yang bertanggung jawab", pihaknya telah menyetujui sejumlah permohonan ekspor dan terbuka untuk dialog lanjutan dengan negara-negara terkait.

Namun, hal ini justru menyoroti ketergantungan besar Washington terhadap pasokan China dalam produksi peralatan militer. Menurut analisis dari Gracelin Baskaran dan Meredith Schwartz dari Critical Minerals Security Program di Center for Strategic and International Studies (CSIS), sebuah jet tempur F-35, misalnya, mengandung lebih dari 400 kilogram logam tanah jarang.

"Mengembangkan kapasitas penambangan dan pemrosesan membutuhkan upaya jangka panjang, yang berarti AS akan tetap tertinggal dalam waktu dekat," tulis mereka.

Dominasi China

Pengalaman masa lalu menunjukkan bahwa upaya mengurangi ketergantungan pada China tidaklah mudah. Setelah insiden kapal nelayan China yang bertabrakan dengan kapal penjaga pantai Jepang pada 2010, Beijing menghentikan ekspor logam tanah jarang ke Tokyo.

Jepang pun mencoba berinvestasi pada sumber alternatif dan meningkatkan stok elemen vital tersebut, tetapi dengan hasil yang terbatas.

"Itu contoh yang baik betapa sulitnya mengurangi ketergantungan pada China," kata Triolo. "Dalam 15 tahun sejak insiden itu, Jepang hanya mencatat kemajuan yang sangat marginal."

Pentagon sendiri sedang mengejar strategi "mine-to-magnet" yang menargetkan rantai pasokan dalam negeri penuh untuk logam tanah jarang pada 2027. Namun, tantangan terbesarnya bukan hanya soal investasi atau teknologi, tapi juga soal keberuntungan geologis.

"Konsentrasi logam tanah jarang yang bisa ditambang jauh lebih langka dibandingkan komoditas mineral lain, menjadikan ekstraksi lebih mahal," tulis Rico Luman dan Ewa Manthey dari ING dalam analisis terbaru mereka.

"Inilah yang menjadikan logam tanah jarang sangat strategis dan memberi China posisi tawar yang sangat kuat."

Kesepakatan Awal

Meskipun tekanan meningkat, para pejabat dari kedua negara mengumumkan pada Selasa (10/6/2025) bahwa mereka telah mencapai "kerangka kerja" untuk kemajuan lebih lanjut dalam pembicaraan perdagangan.

Menteri Perdagangan AS, Howard Lutnick, menyampaikan optimisme bahwa kekhawatiran soal logam tanah jarang "pada akhirnya akan terselesaikan".

Namun demikian, selama China tetap memegang kendali hampir penuh atas rantai pasokan logam tanah jarang global, dan selama infrastruktur AS belum siap memproduksi elemen-elemen ini secara independen, posisi Beijing dalam negosiasi kemungkinan tetap lebih unggul.

Logam Tanah Jarang di Indonesia

Indonesia sendiri makin serius digarap yang berupa hasil tambang berjenis yang terkait logam tanah jarang seperti zirkonium dan thorium. Hal ini dibeberkan oleh pemerintah dalam hal ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

Indonesia memiliki logam tanah jarang di beberapa lokasi saja dengan total cadangan 1,5 miliar ton, seperti monasit, senotim, zirkonium silikat, ferro titanit, bijih nikel laterit, dan potensi lainnya.

Berdasarkan "Kajian Potensi Mineral Ikutan pada Pertambangan Timah" yang dirilis Kementerian ESDM pada 2017, logam tanah jarang ini tersebar di beberapa daerah, antara lain Kepulauan Bangka Belitung, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sulawesi, dan Papua.

Kendati total cadangan LTJ Indonesia sebesar 1,5 miliar ton, namun pada dasarnya LTJ dapat dihasilkan dari produk samping timah, contohnya adalah monasit dan senotim.

Dilansir dari Booklet Kementerian ESDM2020 dicatatkan bahwa Indonesia telah memiliki sumber daya monasit sebesar 185.179 ton logam yang dapat dikembangkan lebih lanjut menjadi cadangan. Adapun untuk senotim, Indonesia telah memiliki sumber daya senotim sebesar 20.734 ton logam yang dapat dikembangkan lebih lanjut menjadi cadangan.


(luc/luc)

Saksikan video di bawah ini:

Video: Industri Otomotif Dunia Panik, Aksi China Mengundang Malapetaka

Next Article Tarif Trump Jadi Bumerang, China Lumpuhkan Mimpi Jet Tempur F-47 AS

Read Entire Article
| | | |