Apakah RI Paham Peta Industri Sistem Pendorong Pesawat Global?

3 hours ago 4

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Saat ini hanya ada empat setengah produsen sistem pendorong pesawat terbang komersial dengan produk diadopsi secara luas di pasar internasional, yaitu GE Aerospace, Pratt & Whitney, Rolls-Royce dan Honeywell, plus CFM International yang merupakan firma patungan GE Aerospace dan Safran Aircraft Engines.

Perusahaan yang terakhir disebut sebenarnya lebih berfokus pada aero engine militer seperti Snecma M88 yang menjadi sistem pendorong jet tempur Rafale. Rusia juga memiliki industri sistem pendorong sendiri untuk pesawat penumpang seperti Aviadvigatel, akan tetapi produk Rusia hanya dipakai pesawat terbang niaga buatan Rusia saja.

Adapun China hingga sekarang belum sukses dalam mengembangkan industri aero engine lokal, sehingga pesawat terbang berbadan sempit Comac C919 ditenagai oleh sistem pendorong produksi CFM International dengan kemampuan yang telah dikurangi (downgrade) dibandingkan LEAP 1A dan LEAP 1B.

Sedangkan untuk pasar pesawat tempur, pabrikan yang menguasai pasar ialah GE Aerospace, Pratt & Whitney, Rolls-Royce dan Safran Aircraft Engines, di mana sistem pendorong buatan para raksasa tersebut digunakan oleh jet tempur buatan Boeing, Lockheed Martin, BAE Systems, Dassault Aviation, Korea Aerospace Industries dan konsorsium Eurojet.

Untuk penempur buatan Rusia, terdapat dua produsen aero engine yang mengemuka, yaitu Klimov dan Saturn, dengan produk kedua pabrikan dijual pula ke pembuat pesawat tempur di China.

Sebagaimana menyangkut sistem pendorong untuk pesawat niaga, China pun belum matang dalam mengembangkan dan memproduksi aero engine bagi keperluan pesawat tempur. Walaupun China telah berupa mengembangkan sistem pendorong buatan dalam negeri seperti WS-10, namun kinerja yang ditampilkan masih underpowered dibandingkan aero engine yang dipasok oleh Rusia.

Mengacu pada peta tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa peta produsen sistem pendorong, baik untuk pesawat komersial maupun jet tempur, tidak berubah selama lebih 75 tahun terakhir. Tidak ada pemain baru yang sukses di pasar internasional selama jangka waktu tersebut, terlepas apakah itu pasar pesawat buatan Barat maupun Rusia.

Dominasi Barat dan Rusia dalam ceruk pasar ini belum dapat disaingi oleh negara lain seperti China, walaupun penguasaan pasar oleh Rusia kalah dibandingkan dengan beberapa produsen asal Barat. Pertanyaannya, mengapa tidak ada perubahan pemain pasar aero engine selama lebih 75 tahun belakangan?

Untuk memasuki pasar sistem pendorong global, terdapat penghalang masuk sangat tinggi (high entry barrier) yang merupakan perpaduan antara aspek teknologi, politik dan ekonomi. Menyangkut aspek teknologi, hanya para ilmuwan dan insinyur di negara-negara tertentu saja seperti Amerika Serikat, Inggris, Prancis dan Rusia yang sudah menguasai secara penuh seluruh cabang keilmuan yang terkait dengan sistem pendorong.

Teknologi tentang aero engine sangat dilindungi secara politik dan hukum oleh negara-negara pemilik, sehingga penyebaran teknologi yang terkait dengan sistem pendorong ke negara lain sangat dibatasi lewat skema seperti kendali ekspor.

Tentang aspek ekonomi, upaya mendirikan industri aero engine bukan saja memerlukan sumberdaya manusia yang menguasai teknologi terkait hal itu, tetapi pula modal besar sekaligus pertaruhan investasi jangka panjang mengingat tidak ada jaminan sukses di pasar.

Pabrikan sistem pendorong terkadang memberikan lisensi kepada perusahaan aero engine negara lain untuk melakukan manufaktur, namun sesungguhnya beberapa komponen inti seperti turbin, kompresor dan combustor masih dipasok oleh pemberi lisensi. Oleh karena itu, berbeda dengan lisensi untuk manufaktur pesawat terbang, lisensi bagi manufaktur sistem pendorong lebih mirip seperti kegiatan perakitan daripada manufaktur itu sendiri.

Salah satu firma dirgantara dan pertahanan yang mendapat lisensi manufaktur aero engine ialah Hanwha Aerospace guna memproduksi sistem pendorong GE Aerospace yakni F404-GE-102, F414-GE-400K dan T700-701K. Negara lain yang memiliki lisensi untuk melakukan manufaktur sistem pendorong adalah Turki dengan penerima lisensi untuk GE Aviation F110-GE-129B adalah Tusas Engine Industries.

Baik Hanwha Aerospace maupun Tusas Engines Industries tidak menyembunyikan ambisinya guna melepaskan diri dari ketergantungan pada aero engine buatan Amerika Serikat. Akan tetapi, kedua firma mempunyai strategi yang berbeda dalam rangka menuju kemandirian relatif, di mana faktor pembeda ialah bagaimana pertemuan antara ambisi politik dihadapkan pada kemampuan engineering.

Hanwha Aerospace hendak mengembangkan sistem pendorong baru bagi KF-21EX dengan daya dorong antara 15.000 lbf hingga 18.000 lbf pada akhir dekade 2030-an lewat kemitraan dengan pabrikan aero engine yang sudah mapan. Dengan kata lain, Hanwha Aerospace ingin melewati suatu kurva belajar dalam penguasaan teknologi aero engine, di mana pemerintah Korea Selatan sepakat mengedepankan pendekatan kemampuan engineering daripada ambisi politik.

Sedangkan Tusas Engines Industries sangat ambisius dengan target memproduksi aero engine dengan daya dorong 35.000 lbf secara mandiri, di saat pabrik tersebut belum memiliki pengalaman pada sistem pendorong dengan daya dorong 10.000 lbf, 15.000 lbf hingga 20.000 lbf.

Ditinjau dari aspek engineering, ambisi Tusas Engines Industries tidak akan tercapai mengingat bahwa tidak ada jalan pintas dalam menguasai teknologi sistem pendorong. Dibandingkan dengan industri aero engine Rusia dan bahkan China sekalipun, kemampuan industri serupa di Turki jauh tertinggal di belakang.

Namun, ambisi politik lebih diutamakan oleh pemerintah Turki terkait pengembangan sistem pendorong buatan lokal dengan daya dorong 35.000 lbf, sehingga kemampuan engineering (termasuk kurva belajar) diabaikan sama sekali.

Pemerintah Indonesia saat ini nampaknya terjerumus dalam jebakan tipu daya Turki terkait rencana membeli jet tempur buatan Turki yang diklaim sebagai generasi kelima. Sampai sekarang tidak ada data valid yang mendukung bahwa purwarupa yang dikembangkan oleh Turki memang merupakan pesawat tempur generasi kelima sebagaimana diklaim secara sepihak.

Beberapa waktu lalu, Amerika Serikat sudah melarang ekspor aero engine F110-GE-129B buatan GE Aerospace ke Turki, sehingga mengancam pengembangan dan produksi jet tempur Turki. Pada sisi lain, Menteri Keuangan telah menyetujui Pinjaman Luar Negeri senilai US$ 1,2 miliar guna membeli purwarupa pesawat tempur asal Turki.

Mempertimbangkan bahwa kemampuan engineering tidak bisa disetir oleh ambisi politik, apakah Indonesia akan mengimpor pesawat tempur tanpa sistem pendorong dari Turki sebelum 2030?

Bagi kalangan yang paham dengan kompleksitas pengembangan pesawat tempur berikut sistem pendorongnya, merupakan suatu fantasi bahwa Indonesia akan mendapatkan jet tempur dari Turki dengan daya dorong 35.000 lbf hingga pertengahan dekade mendatang.

Di sisi lain, Turki tidak akan mungkin mengekspor pesawat tempur buatannya yang ditenagai oleh F110-GE-129B. Apakah utang sebesar US$ 1,2 miliar akan dipaksakan oleh pemerintah Indonesia untuk membeli glider dari Turki?


(miq/miq)

Read Entire Article
| | | |