Buruh Perempuan Tewas-Organ Dalam Rusak, Mayatnya Tergeletak di Gubuk

4 hours ago 2

Jakarta, CNBC Indonesia - Setiap Hari Buruh, nama Marsinah selalu menggema. Sosoknya bukan sekadar simbol perjuangan, tapi cermin keteguhan seorang buruh wanita yang tak gentar menuntut keadilan. Bagaimana tidak dia sampai dibunuh oleh orang hanya karena menuntut kenaikan gaji layak.

Bagaimana ceritanya?

Marsinah adalah buruh PT Catur Putera Surya (CPS) di Porong, Jawa Timur. Dia aktif mengadvokasi kesejahteraan rekan-rekan sesama buruh. Kala itu, pemerintah Provinsi Jawa Timur sudah menetapkan UMP sebesar Rp2.250. Dari ketetapan, Pemprov mengeluarkan surat edaran agar para pengusaha menaikkan upah buruh.

Namun, PT CPS enggan melakukan hal serupa dan mempertahankan buruh dengan gaji lama, yakni Rp1.700 per bulan. PT CPS ingin kenaikan hanya menyasar tunjangan, bukan gaji pokok.

Jelas, Marsinah memprotes hal tersebut. Bagi Marsinah, kenaikan tunjangan merugikan para buruh. Sebab, jika sakit atau ada keperluan lain, maka yang bersangkutan tak dapat tunjangan. Apalagi para buruh perempuan yang terkadang tak bisa masuk kerja akibat, hamil, menstruasi, dan sebagainya.

Atas dasar ini, Marsinah mendorong rekan-rekan melakukan pemogokan massal. Singkat cerita, pemogokan massal pun terjadi.

Ketika pemogokan, beberapa buruh dipanggil ke Kodim. Pada masa Orde Baru, militer sering menjadi mediator untuk menyelesaikan permasalahan antara buruh dan pengusaha pabrik.

Dari pemanggilan tersebut emosi Marsinah memuncak ketika buruh yang dipanggil dipaksa resign dari pabrik. Pada titik inilah, Marsinah ingin datang ke Kodim. Namun nasib buruk malah menimpa Marsinah

Pada 8 Mei 1993, dua hari usai dipanggil ke Kodim, Marsinah ditemukan tubuh di suatu gubuk. Hasil visum menyebut dia mendapat luka-luka di bagian bawah tubuh. Banyak tulangnya patah. Organ-organ dalamnya rusak. Menurut tim autopsi, ini tanda kekerasan.

Meski penyebab kematian sudah terkuak, kematian Marsinah di 24 tahun menjadi tanda tanya sampai sekarang dan tak diketahui siapa pembunuhnya.

Apa yang terjadi pada Marsinah merupakan satu dari sekian banyak kasus hasil dinamika panas antara buruh dan pengusaha soal pengupahan setiap sepanjang kekuasaan Soeharto.

Sebagai catatan, selama Soeharto berkuasa, upah minimum buruh ditentukan berdasarkan PP No 8 tahun 1981. Berbeda dengan sekarang, di era Orde Baru tak ada sistem pengupahan berdasarkan regional. Upah ditentukan oleh pusat untuk semua daerah.

Jurnalis senior Willy Pramudya dalam bukunya Cak Munir: Engkau Tidak Pernah Pergi (2004) menyebut, lewat aturan tersebut buruh mati dalam kemiskinan dan ketergantungan.

Sebab, kebijakan upah Orde Baru tidak mengakomodir kelompok lemah. Selain itu, para buruh juga tidak diajak diskusi, sehingga keputusan upah minimum murni keputusan pemerintah. Hal ini bisa terjadi karena Presiden Soeharto ingin mempertahankan investasi. Jika upah buruh dinaikkan, maka investor bisa kabur. Artinya, pemerintah ingin mengutamakan kalangan pengusaha.

Politisi Amien Rais dalam Suara Amien Rais, Suara Rakyat (1998) menyebut, ketidakadilan tersebut lantas membuat para pengusaha atau majikan semena-mena. Mereka jadi bebas menggaji buruh. Atau bahkan melanggar ketentuan upah minimum.

Pengusaha juga tak takut sebab tak ada sanksi berat menanti jika melanggar aturan upah minimum. Tak hanya itu, para pengusaha juga memandang hubungan dengan buruh hanya sebatas kontraktual. Artinya, jika buruh tidak mau ikut aturan, maka silakan keluar sebab masih banyak buruh lain yang mau kerja.


(mfa/mfa)

Saksikan video di bawah ini:

Video: Lirik Prospek Bisnis Produk Perawatan Rambut Lokal Go Global

Read Entire Article
| | | |