Diskusi Pakar Soal Ide Badan Penerimaan Pajak, Begini Isinya!

1 day ago 6

Jakarta, CNBC Indonesia - Mantan Dewan Pakar Tim Kampanye Nasional Prabowo-Gibran Bidang Perpajakan, Edi Slamet Irianto mengatakan Indonesia segera membutuhkan Badan Otorita Penerimaan Negara (BOPN).

Seperti yang diketahui, Presiden Prabowo Subianto telah mencantumkan rancangan pembentukan Badan Penerimaan Negara (BPN) dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029.

RPJMN 2025-2029 itu sendiri telah Prabowo tetapkan dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 12 Tahun 2025. Perpres 12/2025 ia tetapkan dan berlakukan pada 10 Februari 2025.

Edi menjelaskan bahwa terdapat tiga urgensi untuk pemerintah segera membentuk BOPN.

Seperti undang-undang pemungutan negara dinilai terlalu rumit dan tumpang tindih. Hal ini menyebabkan banyaknya para pelaku usaha yang kesulitan membedakan pajak dan bukan pajak.

"Terlalu rumit dan tumpang tindih dan sulit membedakan pajak dan bukan pajak berpengaruh terhadap persepsi pelaku usaha tidak ada kepastian hukum dan timbul biaya ekonomi tinggi," ujar Edi dalam acara ISNU Forum on Investment, Trade and Global Affairs di Kantor NU, Rabu (11/6/2025).

Tak hanya itu, Edi menilai birokrasi yang terlalu berbelit dan panjang. Bahkan, setiap kementerian dan lembaga memiliki peraturan yang berbeda. Hal ini dapat membuka peluang kebocoran dalam sektor penerimaan negara.

"Kerumitan peraturan dan panjangnya birokrasi penerima negara telah membuka peluang terjadinya kebocoran di sektor penerimaan negara berdampak jebloknya kinerja penerimaan negara ini kenapa kita harus melakukan pembentukan BOPN," ujarnya.

Edi pun menjelaskan bahwa dengan adanya BOPN, akan memisahkan fungsi pemungutan pajak dari fungsi regulasi fiskal. Selain itu, meningkatkan kepatuhan wajib pajak dengan sistem digital, menyatukan basis data nasional untuk mencegah penghindaran pajak, dan menyesuaikan insentif fiskal berdasarkan kepentingan nasional, bukan hanya investor besar dan asing.

Pendiri konsultan pajak Danny Darussalam Tax Center, Darussalam menjelaskan bahwa dengan terbentuknya badan penerimaan yang berada langsung dibawah presiden, tentu hal tersebut membuat Direktorat Jenderal Pajak memiliki wewenang dan posisi yang lebih kuat dibandingkan berada di bawah Kementerian Keuangan.

"Kalau Direktorat Jenderal Pajak itu naik kelas menjadi satu lembaga tersendiri, terpisah dari Kementerian Keuangan, langsung mungkin nanti akan jadi lebih powerful ya Karena nanti di bawah presiden," ujar Darussalam dalam acara ISNU Forum on Investment, Trade and Global Affairs di Kantor NU, Rabu (11/6/2025).

Maka dari itu, penting untuk badan penerimaan baru diimbangi dengan perlindungan dan kejelasan posisi bagi masyarakat, khususnya para wajib pajak.

"Kebijakan pajak kita kalau tidak didukung dengan administrasi perpajakan atau kelembagaan perpajakan yang baik tadi dihukum maupun kebijakan pajak itu tidak akan berfungsi dengan baik," tegasnya.

Ketua Komisi XI DPR RI, Mukhamad Misbakhun pun menjelaskan bahwa pendirian badan penerimaan negara baru harus dapat memaksimalkan pengelolaan hasil sumber daya alam.

Pasalnya, Indonesia memiliki kekayaan alam yang berlimpah.

Kendati demikian, penerimaan bukan pajak saat ini mayoritas masih berasal dari pelayanan publik.

"Penerimaan negara bukan pajak kita paling besar bukan dari sumber kekayaan alam lebih dari hampir 60% penerimaan negara bukan pajak kita berasal dari pelayanan publik dan kemudian dari kekayaan negara yang dipisahkan Itu penerimaan dari visa uang UKT kuliah, bayar paspor kendaraan bermotor Itu lebih banyak penerimaannya dari yang kita dapat dari sumber daya alam Inilah yang perlu disadarkan," ujarnya.

Ia pun menyoroti rendahnya rasio pajak yang kerap stagnan dari tahun ke tahun. Menurutnya, meningkatkan pertumbuhan ekonomi tak serta merta dapat meningkatkan rasio pajak.

Maka dari itu, badan penerimaan negara baru harus membenahi sistem penerimaan negara.

"Pertumbuhan ekonomi itu tidak serta-merta mengangkat derajak tax ratio kita dan tidak pernah dilakukan riset apakah ini upaya pembiaran Yyng membuat kita tetap menjadi negara yang defisit, tetap berhutang dan menjadikan hutang itu sebuah pola bisnis yang lain Nah, inilah yang harus disadarkan," ujarnya.


(haa/haa)

Saksikan video di bawah ini:

Video:Bank DBS Indonesia Buka-bukaan Arah Pasar Keuangan Era Trump 2.0

Next Article Kebijakan Fiskal Jerman Berubah Ekstrem, Pasar Keuangan Global 'Rusuh'

Read Entire Article
| | | |