Dunia Kerja Tak Lagi Ramah Sarjana: Fresh Graduate Terancam Menganggur

3 hours ago 2

Jakarta, CNBC Indonesia - Lulusan perguruan tinggi baru biasanya memiliki posisi yang lebih baik di pasar kerja dibandingkan populasi umum. Namun dalam satu dekade terakhir, dengan banyaknya saingan baik dari sesama pencari kerja maupun adopsi teknologi, lulusan baru universitas kesulitan mendapatkan pekerjaan di tengah tingkat pengangguran yang tinggi.

Negara adidaya seperti Amerika Serikat (AS) tidak terlepas dari permasalahan ini. Meskipun pasar tenaga kerja AS berada dalam ekonomi yang besar dan dinamis, mereka cenderung lebih cepat terdampak tren global seperti kemajuan teknologi maupun disrupsi akibat krisis.

Pada  1990 hingga sebagian waktu di era 2010-an, lulusan perguruan tinggi baru biasanya memiliki tingkat pengangguran yang lebih rendah dibandingkan tingkat pengangguran keseluruhan lulusan pendidikan di AS.

Namun, pernyataan ini berubah ketika dunia dilanda pandemi COVID-19, di mana tingkat pengangguran lulusan baru sempat naik di atas tingkat pengangguran nasional.

Saat ini, kemajuan teknologi dan kecerdasan buatan (AI) memperburuk adanya pola tersebut. Untuk mendapat gambaran lebih jelas, daftar di bawah ini mencakup perbandingan tingkat pengangguran keseluruhan AS dengan lulusan perguruan tinggi baru usia 22 hingga 27 tahun.

Data ini melansir sebuah artikel yang mengambil data pengangguran bulan pertama tiap tahun di beberapa tahun pada dekade 90-an hingga Juni 2025, menggunakan data dari Federal Reserve Bank of New York.

Lulusan Perguruan Tinggi AS Menghadapi Pengangguran Lebih Tinggi
Dari 1990 hingga akhir 2010-an, lulusan baru secara konsisten memiliki tingkat pengangguran yang lebih rendah daripada pengangguran yang dialami keseluruhan populasi AS, namun tren tingkat pengangguran menunjukkan hal sebaliknya dalam satu dekade terakhir.

Pada 1990-an, Lulusan baru perguruan tinggi memiliki tingkat pengangguran yang lebih rendah dibandingkan dengan tingkat pengangguran keseluruhan. Tercatat bahwa kesenjangan antara tingkat pengangguran keseluruhan dan lulusan baru rata-rata sekitar 1,7%.

Pola ini terus terlihat bahkan selama masa resesi ekonomi, contohnya ketika pecahnya dot-com bubble pada awal tahun 2000 atau krisis keuangan global di 2008. Pada tahun 2008, tingkat pengangguran di kalangan lulusan baru sebesar 3,6% di saat tingkat penganagguran keseluruhan mencapai 4,7%.

Lulusan baru selalu memiliki tingkat pengangguran yang lebih rendah, karena permintaan tenaga kerja biasanya lebih mencari tenaga kerja yang kompeten, dibuktikan dengan ijazah perguruan tinggi dan keterampilan akademik yang masih relevan.

Selain itu, perusahaan juga cenderung melihat lulusan baru sebagai tenaga kerja yang lebih fleksibel, mudah dilatih, serta memiliki ekspektasi gaji yang lebih rendah dibandingkan pekerja berpengalaman, sehingga tetap menjadi pilihan menarik meski kondisi ekonomi sedang melemah.

Pasar Tenaga Kerja Lebih Sulit bagi Lulusan Baru Pasca-Pandemi

Sejak tingkat pengangguran turun kembali di bawah 5% pasca-pandemi, lulusan baru terus menghadapi tingkat pengangguran yang lebih tinggi dibandingkan tingkat pengangguran keseluruhan AS.

Menurut data terbaru per Juni 2025, lulusan baru kini menghadapi tingkat pengangguran yang mencapai 4,8%, lebih tinggi dibandingkan tingkat pengangguran nasional yang sebesar 4,0%.

Meskipun perekonomian yang lebih luas telah pulih dari pandemi COVID-19, kemajuan AI dan tampaknya menekan harapan mendapatkan pekerjaan bagi lulusan baru yang belum memiliki pengalaman di dunia kerja, mengakibatkan mereka lebih sulit mencari tempat di pasar tenaga kerja.

Beberapa pekerjaan memang dinilai lebih aman dibandingkan yang lain dalam hal potensi penggantian oleh AI, tetapi lulusan baru masih perlu terus cepat beradaptasi dengan kemajuan teknologi yang mengubah lanskap bisnis dan permintaan di pasar tenaga kerja secara keseluruhan.

Pengangguran Sarjana di Indonesia Melonjak

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan tren yang mencemaskan. Pada 2014, jumlah penganggur bergelar sarjana tercatat sebanyak 495.143 orang. Angka ini melonjak drastis menjadi 981.203 orang pada 2020, dan meski sempat turun menjadi 842.378 orang di 2024, jumlah tersebut tetap tergolong tinggi.

Lonjakan terbesar terjadi saat pandemi Covid-19 menerjang. Dunia kerja nyaris lumpuh, rekrutmen dibekukan, dan ribuan lulusan baru terpaksa memulai karier mereka di tengah krisis global. Namun masalahnya jauh lebih dalam dari sekadar pandemi.

Secara angka absolut, lulusan SMA memang masih mendominasi jumlah pengangguran mencapai 2,51 juta orang pada 2023. Tapi para lulusan SMA cenderung lebih fleksibel. Banyak dari mereka yang langsung menyerap peluang di sektor informal atau pekerjaan teknis yang tak menuntut ijazah tinggi.

Berbeda halnya dengan sarjana. Mereka sering terjebak dalam kondisi yang disebut "aspirational mismatch" ketika mimpi, ekspektasi, dan kenyataan tidak bertemu di titik yang sama. Banyak yang enggan menerima pekerjaan di luar bidang studi, atau yang dianggap kurang bergengsi. Mereka lebih memilih menunggu, meski waktu terus berjalan.

Ada pula fenomena "reservation wage gap", di mana lulusan universitas menargetkan gaji atau posisi ideal yang belum tentu tersedia di pasar. Alhasil, mereka terpaksa menunggu lebih lama, dan jumlah pengangguran menumpuk.
Masalah utama bukan semata soal jumlah lapangan kerja, tapi ketidaksesuaian keterampilan. Kurikulum perguruan tinggi masih banyak yang belum responsif terhadap perubahan dunia kerja. Koneksi antara kampus dan industri juga kerap lemah. Sementara itu, kewirausahaan belum menjadi budaya kuat di kalangan mahasiswa.

Maka untuk keluar dari krisis ini, perubahan harus dimulai dari hulu. Kampus perlu mendesain ulang pendekatan pendidikannya menekankan keterampilan praktis, digital, kolaboratif, dan membuka lebih banyak kanal magang serta kemitraan dengan industri. Tak kalah penting, mahasiswa perlu dibekali dengan mental pengusaha, bukan hanya pencari kerja.

Fakta bahwa gelar sarjana tak otomatis menjamin pekerjaan bukanlah akhir cerita. Ini justru panggilan untuk transformasi. Jika pendidikan tinggi bisa beradaptasi, dan lulusan mampu menjembatani mimpi dengan kenyataan, maka angka pengangguran sarjana bisa ditekan.

Indonesia tidak kekurangan talenta. Yang dibutuhkan adalah sistem pendidikan yang relevan, ekosistem kerja yang inklusif, dan keberanian untuk berpikir ulang tentang arti sebenarnya dari kesuksesan pasca-wisuda.

CNBC INNDONESIA RESEARCH

[email protected]

(mae)

Read Entire Article
| | | |