Ketika Anak Imigran Melawan Elite Properti

1 hour ago 1

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Inggris dan Amerika Serikat sedang mengalami fenomena baru: kepemimpinan London dan New York mulai beralih dari tangan putra-putra asli ke tangan putra-putra imigran Muslim di tengah himpitan biaya hidup dan ketimpangan yang ekstrem.

Di London, Sadiq Khan sejak 2016 hingga artikel ini ditulis masih menjabat sebagai wali kota London. Di New York, Zohran Mamdani akan menjadi wali kota baru pada tanggal 1 Januari 2026 dengan membawa visi yang radikal. Kedua figur Muslim ini menawarkan narasi alternatif bahwa kapitalisme kota dan pemerintahan lokal bisa menjadi instrumen redistribusi keadilan yang efektif.

Sejak memimpin London, Khan, yang berasal dari keluarga Sunni kelas pekerja dan sudah bersumpah untuk menjadi "wali kota bagi seluruh warga London", menerjemahkan konsep maslahah (kemanfaatan publik) kepada kebijakan konkret yang melindungi daya beli warga di tengah inflasi Eropa.

Semua siswa SD negeri di London kini mendapat makan siang gratis. Ini langkah langsung untuk meringankan beban ekonomi rumah tangga. Khan secara berkala membekukan tarif transportasi publik (TfL) untuk menjaga mobilitas pekerja yang berpendapatan rendah.

Melalui program hunian terjangkau, London mencatat pembangunan rumah sosial tertinggi sejak era 1970-an, sebuah respons yang baik terhadap krisis tempat tinggal. Khan telah membuktikan bahwa kota global bisa tetap kompetitif sekaligus inklusif.

Mamdani, yang berakar dari tradisi Syiah dan aktivisme sosial, membawa semangat pembelaan kaum mustadh'afin (kelompok tertindas) dalam perlawanannya terhadap tuan-tuan tanah di New York. Mamdani adalah representasi pemberontakan terhadap kebijakan.

Mamdani menyerukan janji-janji yang berani seperti pembekuan sewa bagi apartemen dengan status sewa terkendali, berkomitmen membangun ratusan ribu hunian terjangkau, menggratiskan bus dan kereta untuk mendongkrak mobilitas kelas pekerja ke pusat ekonomi, dan mengambil alih penyediaan kebutuhan dasar (makanan dan penitipan anak) dari tangan swasta, lalu memberikannya kepada rakyat dengan harga murah untuk meringankan beban hidup warga.

Agenda Mamdani adalah antitesis dari kota yang dikuasai pengembang properti. Jika Khan adalah reformis, Mamdani menawarkan perombakan struktural: mengubah New York dari kota elit menjadi kota rakyat.

Minoritas: Dari Objek Menjadi Aktor
Khan dan Mamdani sama-sama mengalami pergeseran sebagai minoritas dari sekadar objek kebijakan menjadi aktor penentu kebijakan. Bagi keduanya, pengalaman mereka sebagai minoritas menjadi kompas untuk menyeimbangkan tekanan pasar dengan perlindungan sosial.

Mereka paham betapa krusialnya subsidi transportasi dan perumahan layak. Di dalam pikiran mereka, pemerintahan kota harus menjadi medan reformasi ekonomi yang lebih lincah dibanding pemerintah pusat. Representasi politik mereka bukan sekadar simbol keragaman, melainkan mandat untuk menciptakan keadilan distributif.

Tentu visi radikal Mamdani membutuhkan anggaran raksasa dan pasti menghadapi resistensi keras dari para pengusaha real estate dan perusahaan yang khawatir investasinya tergerus. Dibutuhkan koalisi politik yang luas dan manajemen fiskal yang disiplin agar visi ini tidak terjebak pada populisme semata.

Refleksi untuk Indonesia
Kota-kota besar di Indonesia dapat mengambil pelajaran penting. Pertama, keadilan sosial tidak harus mengorbankan daya saing ekonomi. Kedua, memberikan ruang bagi pemimpin dari beragam latar belakang dapat memperkaya perspektif kebijakan publik.

Ketiga, solusi atas kemacetan dan ketimpangan hunian di Bandung, Medan, Palembang, Surabaya, dan Jakarta terletak pada keberanian pemimpin untuk melakukan intervensi pasar demi kemaslahatan umum.

Maka dari itu, Khan dan Mamdani mengingatkan kita bahwa latar belakang identitas bukan penghalang, melainkan modal moral untuk membangun kota yang lebih manusiawi di abad ke-21.


(miq/miq)

Read Entire Article
| | | |