Jakarta, CNBC Indonesia - Bumi terus mengalami pemanasan ekstrem. Data terbaru dari Uni Eropa mencatat bahwa Mei 2025 menjadi bulan Mei terpanas kedua dalam sejarah, baik di daratan maupun lautan.
Menurut Layanan Perubahan Iklim Copernicus (C3S), suhu permukaan rata-rata global mencapai 1,4°Celcius di atas level pra industri. Angka ini sedikit di bawah rekor tertinggi pada Mei 2024, namun tetap menunjukkan tren pemanasan global yang konsisten.
"Mei 2025 mengakhiri rangkaian panjang bulan-bulan panas ekstrem dengan suhu di atas 1,5°C," kata Carlo Buontempo, Direktur C3S, dalam pernyataan resminya, seperti dikutip AFP pada Rabu (11/6/2025).
"Ini mungkin jeda singkat, tapi ambang batas 1,5°C hampir pasti akan terlewati kembali dalam waktu dekat," tambahnya.
Suhu lautan juga mencetak rekor. Copernicus mencatat suhu rata-rata permukaan laut global sebesar 20,79°C, menjadikan Mei 2025 sebagai bulan Mei terpanas kedua untuk kategori ini.
Wilayah Atlantik Utara dan Laut Mediterania mengalami gelombang panas laut parah, yang disebut Copernicus sebagai "belum pernah terjadi sebelumnya secara regional."
Fenomena ini berdampak luas. Laut yang lebih hangat memicu badai lebih kuat, merusak ekosistem laut, dan menghambat distribusi nutrisi akibat terganggunya pencampuran lapisan air.
"Gelombang panas laut memaksa spesies bermigrasi, mengganggu rantai makanan, dan merusak keanekaragaman hayati," ujar Copernicus.
Isu ini menjadi sorotan utama dalam Konferensi Kelautan PBB (UNOC) yang berlangsung pekan ini di Nice, Prancis.
Kekeringan Parah Landa Eropa
Tak hanya suhu tinggi, kekeringan ekstrim juga melanda sebagian besar Eropa. Copernicus menyebut curah hujan dan kelembaban tanah di beberapa kawasan sebagai yang terendah sejak 1979.
Negara-negara seperti Inggris, Denmark, dan Belanda dilaporkan mengalami kekeringan terburuk dalam beberapa dekade terakhir.
"Kondisi ini menunjukkan tekanan iklim terhadap sistem air dan pertanian Eropa semakin nyata," tegas Buontempo.
Selama periode Juni 2024-Mei 2025, suhu global rata-rata tercatat 1,57°C lebih tinggi dari era pra industri. Angka ini melampaui batas aman yang ditetapkan Perjanjian Paris 2015, yang menargetkan pembatasan kenaikan suhu global di bawah 1,5°C.
Meski target Paris menggunakan rata-rata 20 tahun untuk menilai tren jangka panjang, para ilmuwan memperingatkan bahwa dunia sangat dekat ke titik kritis perubahan iklim permanen.
"Ada kemungkinan 70% bahwa periode 2025-2029 akan melampaui batas 1,5°C secara konsisten," tulis laporan terbaru dari Organisasi Meteorologi Dunia (WMO).
Sementara Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) menekankan bahwa setiap fraksi derajat kenaikan suhu akan berdampak signifikan terhadap frekuensi dan intensitas bencana alam.
"Membatasi pemanasan ke 1,5°C alih-alih 2°C akan mengurangi risiko bencana ekstrim secara drastis," tulis IPCC dalam laporan tahun 2018.
Dengan tren saat ini, dunia tengah menghadapi kenormalan baru iklim ekstrem. Para ilmuwan menyerukan percepatan transisi energi bersih dan penghentian penggunaan bahan bakar fosil jika ingin menghindari dampak yang lebih merusak.
(sef/sef)
Saksikan video di bawah ini:
Video: Eropa Barat Dilanda Pemadaman Listrik Terburuk
Next Article Tanda Kiamat Bumi Makin Jelas, NASA Beri Peringatan Terbaru