Nasib Ekonomi RI di Tangan Pemerintah, Belanja Harus Digas!

1 day ago 7

Jakarta, CNBC Indonesia - Mesin perekonomian Indonesia mulai ngadat. Pemulihannya kini tergantung upaya pemerintah untuk menggerakkannya kembali melalui suplemen belanja negara.

Ekonomi domestik yang kian melemah, hingga kini pemulihannya bergantung hanya dari belanja negara, tercermin dari berbagai faktor, salah satunya kondisi deflasi yang kembali terjadi pada Mei 2025 sebesar 0,37% secara bulanan.

Kondisi itu menurut berbagai kalangan ekonom menjadi pertanda konsumsi rumah tangga tidak bergerak dan ekspektasi pelaku ekonomi terhadap roda perekonomian sangat buruk. Sebab indeks harga turun saat pasokan barang cenderung stabil.

Kepala Ekonom Trimegah Sekuritas Indonesia, Fakhrul Fulvian mengatakan, untuk menyelesaikan masalah itu, maka belanja pemerintah bisa menjadi faktor kunci pengubah persepsi atau ekspektasi para pelaku ekonomi.

"Kami sangat mengharapkan belanja pemerintah mencapai full throttle di paruh kedua tahun 2025," ujar Fakhrul dikutip dari keterangan tertulis, Kamis (5/6/2025).

Ia mengakui, pemerintah pada kuartal II-2025 ini memang telah mengumumkan akan menggelontorkan anggaran Rp 24 triliun dalam bentuk paket stimulus ekonomi untuk merespons tekanan ekonomi. Baik itu stimulus transportasi, subsidi upah, bantuan sosial, hingga diskon iuran.

Namun, selain pemberian stimulus ekonomi, Fakhrul menganggap pemerintah harus mempercepat realisasi anggaran belanja negara pada paruh kedua tahun ini untuk membuat ekonomi RI kembali pulih.

Sebab, pada kuartal I-2025 saja, pertumbuhan ekonomi Indonesia tak mampu mencapai 5%, yakni hanya tumbuh 4,87% secara tahunan. Padahal, pada saat itu ada momentum faktor musiman yang mendorong konsumsi rumah tangga seperti libur awal tahun hingga hari raya Idul Fitri atau mudik Lebaran, ditambah gelontoran insentif berupa paket ekonomi yang juga telah dikeluarkan pemerintah.

Oleh karena itu, belanja pemerintah yang sempat tertunda awal tahun ini karena realokasi anggaran ia anggap harus segera dibereskan, sebab belanja negara memiliki efek untuk mendorong kembali pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja di sektor-sektor yang sebelumnya terdampak seperti konstruksi, perhotelan dan perdagangan.

Pasar modal pun Fakhrul pastikan juga akan terkerek naik dengan komitmen pemerintah untuk menggelontorkan belanja negara di masa-masa sulit. Ia melihat minat investor baik asing maupun lokal sudah tinggi untuk Indonesia, dan semuanya menunggu kabar baik dari pemerintah dari sisi belanja.

"Siaran Pers APBN Kita yang selanjutnya sudah harus menunjukkan belanja pemerintah yang menguat," ujarnya.

Fakhrul memperkirakan, dengan adanya perbaikan ekonomi, seharusnya Nilai Tukar Rupiah terhadap dollar bisa terus menguat ke bawah Rp 16.000 per dolar AS, dan IHSG bisa menguat ke level 7.750.

"Eksekusi belanja yang transparan dan tepat sasaran sangat ditunggu," kata Fakhrul.

Guru Besar bidang Ekonomi Pembangunan Universitas Andalas, Syafruddin Karimi juga menegaskan, pemerintah perlu mempercepat belanja negara, terutama yang langsung menyentuh masyarakat saat daya beli ambruk, misalnya melalui program bantuan sosial, subsidi energi, dan proyek padat karya harus dijalankan secara agresif.

"Setiap dana yang dibelanjakan ke sektor riil akan menciptakan permintaan, membuka lapangan kerja, dan memperkuat daya beli. Dengan demikian, pemerintah bisa memutus lingkaran stagnasi yang dipicu oleh deflasi," tegas Syafruddin.

Syafruddin menganggap, saat ini publik perlu diyakinkan bahwa negara hadir dan tanggap terhadap kondisi yang ada. Kepercayaan itulah yang akan menjadi bahan bakar utama untuk memulihkan konsumsi dan investasi.

Terlebih lagi, deflasi yang terjadi saat ini ia anggap bukan tanda keberhasilan menekan harga, tetapi alarm tentang lesunya ekonomi, mesin konsumsi sedang tidak bekerja, dan masyarakat memilih untuk menahan belanja.

"Membaca pesan deflasi berarti menyadari bahwa ekonomi membutuhkan intervensi aktif. Pemerintah harus menggerakkan belanja, memperkuat jaring pengaman sosial, dan memulihkan kepercayaan publik," ucap Syafruddin.

Syafruddin juga mengingatkan, kondisi deflasi yang terjadi saat ini cenderung menggambarkan tekanan psikologis pelaku ekonomi karena meragukan kestabilan pendapatan, khawatir kehilangan pekerjaan, dan merasa belum aman secara finansial.

"Ketika konsumsi melemah, sektor produksi ikut menyesuaikan diri. Produsen mengurangi output, menunda perekrutan tenaga kerja, dan mengerem ekspansi. Akibatnya, ekonomi bergerak lebih lambat," tuturnya.


(arj/haa)

Saksikan video di bawah ini:

Video: Indonesia Diramal Kembali Deflasi di Mei 2025

Next Article Jangan Santai! Ada 5 Tanda Ekonomi RI Tidak Baik-Baik Saja

Read Entire Article
| | | |