Jakarta, CNBC Indonesia - Dunia masih menunggu hasil negoisasi antara Amerika Serikat (AS) dengan negara yang dikenai tarif resiprokal. Perundingan diperkirakan memakan waktu lama.
Presiden AS Donald Trump, Kamis pekan lalu, bahwa ia memperkirakan kesepakatan dagang dengan China akan tercapai dalam "tiga atau empat minggu."
Pernyataan ini muncul setelah penasihat perdagangan Gedung Putih, Peter Navarro, mengatakan kepada NBC News bahwa pemerintah bertujuan untuk mencapai "90 kesepakatan dalam 90 hari, mungkin bisa tercapai" sebelum jeda tarif timbal balik berakhir pada Juli.
Negosiasi perdagangan biasanya memakan waktu lama, bahkan jika kedua negara telah mengidentifikasi isu-isu yang ingin diselesaikan.
Analisis dari Peterson Institute for International Economics terhadap perjanjian perdagangan bebas di masa lalu menunjukkan bahwa negosiasi memakan waktu rata-rata 18 bulan. Implementasi nyata dari perjanjian-perjanjian tersebut biasanya memakan waktu hampir empat tahun.
"Negosiasi perdagangan umumnya sangat rumit dan memakan waktu. Sulit membayangkan semua isu yang mendasari kekhawatiran mereka bisa ditangani dalam jangka waktu sesingkat itu," kata Greta Peisch, mitra di Wiley Rein dan mantan penasihat umum di Kantor Perwakilan Dagang AS selama pemerintahan Presiden Joe Biden, kepada NBC News.
Namun, menurut Greta Peisch, ada kemungkinan bagi Gedung Putih untuk membuat kesepakatan sementara dengan negara-negara dalam beberapa bulan ke depan yang menjelaskan garis waktu dan ruang lingkup negosiasi.
Kesepakatan seperti ini sebelumnya sering disertai dengan penghentian sementara atau pengurangan tarif. Ini bisa membuat jeda tarif berlaku tanpa batas waktu.
Analis kebijakan Raymond James, Ed Mills, mengatakan negara-negara di kawasan Indo-Pasifik seperti Jepang, Australia, dan Vietnam berada di daftar teratas untuk bernegoisasi.
Sementara itu, pembicaraan dengan Uni Eropa kemungkinan memerlukan waktu lebih lama mengingat permusuhan yang ditunjukkan pemerintah terhadap blok tersebut.
Pembicaraan dengan China bisa jadi yang paling lama..
Trump telah menunjuk Menteri Keuangan Scott Bessent dan Perwakilan Dagang AS Jamieson Greer untuk memimpin negosiasi dengan Jepang dan negara-negara lainnya. Kemampuan mereka untuk menyelesaikan kesepakatan dengan cepat akan bergantung pada apakah mereka atau Trump sendiri bersedia memberikan wewenang kepada pejabat AS lainnya untuk bernegosiasi. Trump sendiri bisa menjadi hambatan, karena Navarro mengatakan dia ingin terlibat langsung dalam menyetujui setiap kesepakatan.
Trump sudah memberlakukan jeda tarif selama 90 hari untuk banyak negara, dengan pengecualian terhadap Tiongkok yang masih dikenai tarif sebesar 245%.
Bahkan jika AS berhasil mencapai kesepakatan jangka pendek, tidak ada jaminan bahwa tarif tidak akan berubah lagi selama proses negosiasi.
Pada 2019, Trump kembali menerapkan tarif terhadap Tiongkok, menyatakan lewat Twitter bahwa negara itu "melanggar kesepakatan" yang sebelumnya telah meredakan ketegangan perdagangan. Kesepakatan sementara tidak serta merta menghilangkan ketidakpastian.
AS Sebut 59 Negara Hambat Perdagangan
AS merilis daftar negara yang menjadi penghambat perdagangan dengan negara tersebut. Mulai dari pelanggaran, tarif tinggi, hingga kebijakan yang diskriminatif.
Perwakilan Dagang AS (USTR) telah mengidentifikasi 59 negara yang memiliki hambatan perdagangan yang menghambat ekspor AS, investasi asing langsung, dan e-commerce.
Hambatan-hambatan ini, menurut Laporan Estimasi Perdagangan Nasional (NTE) USTR, mencakup berbagai kebijakan dan praktik pemerintah yang mendistorsi persaingan yang adil. Laporan tersebut juga mengklasifikasikan hambatan perdagangan ke dalam 14 kategori, termasuk hambatan jasa, kebijakan impor, dan hambatan teknis.
Kantor Perwakilan Dagang AS (USTR) menerbitkan laporan setebal 400 halaman tentang apa yang dianggapnya sebagai hambatan perdagangan tidak adil yang diberlakukan oleh negara lain terhadap penjualan barang-barang AS.
Laporan tersebut menyoroti 59 negara, kawasan, dan blok yang dikritik, tetapi China sejauh ini paling banyak mendapat kecaman dengan hampir 50 halaman yang didedikasikan untuk mengungkap serangkaian dugaan pelanggaran, termasuk terlibat dalam perdagangan non-pasar yang dipimpin negara, transfer teknologi paksa dan perlindungan IP yang tidak memadai, tarif yang tidak sesuai dengan WTO, sejumlah hambatan non-tarif, proses pengadaan yang tidak adil, hingga kerja paksa.
Beberapa negara yang disoroti termasuk Indonesia, Israel, dan Uni Eropa.
Dalam pelanggaran hak kekayaan intelektual, banyak negara, termasuk Indonesia, memiliki praktik pembajakan yang merugikan perusahaan AS.
Dari sisi tarif, beberapa negara, seperti Argentina, Meksiko, dan Uni Emirat Arab, menerapkan tarif impor yang tinggi, yang dapat meningkatkan biaya bagi perusahaan AS yang ingin mengekspor ke negara-negara tersebut.
Dari sisi pembatasan impor, negara-negara tertentu membatasi jumlah produk tertentu yang dapat diimpor, yang dapat menghambat perdagangan.
Dari sisi kebijakan yang diskriminatif, beberapa negara menerapkan kebijakan yang membedakan produk AS dibandingkan dengan produk lokal, yang dapat memengaruhi persaingan.
Adapun, hambatan non-tarif seperti peraturan administrasi yang rumit, standar kualitas yang ketat, dan prosedur bea cukai yang lambat juga dapat menghambat perdagangan.
Berikut 59 negara yang dianggap menghambat perdagangan luar negeri AS.
Dalam daftar negara tersebut, AS juga menyebut Indonesia dengan segala hambatan perdagangannya. Selain hambatan dalam perijinan, AS juga menyebutkan mengenai sertifikasi halal hingga tumpang tindih kebijakan serta penggunaan QRIS.
Pemerintah sendiri sudah merespon keluhan AS. Apa saja keluhan AS dan respon pemerintah:
CNBC INDONESIA RESEARCH
cindonesia.com
(saw/saw)