Pencucian Uang dan Sunyi Senyap Penegakan Hukum

1 day ago 2

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

"Berani menegakkan keadilan walaupun mengenai diri sendiri, adalah puncak segala keberanian."

Ungkapan penuh makna dari Buya Hamka ini mengingatkan kita bahwa keberanian sejati tidak terletak pada kekuatan fisik, tetapi pada keteguhan moral untuk menegakkan keadilan, bahkan ketika kebenaran yang diungkap justru merugikan diri sendiri. Sayangnya, nilai luhur ini tampaknya semakin jarang ditemukan dalam sistem hukum kita, yang kian tumpul di hadapan mereka yang berkuasa atau bergelimang harta.

Beberapa bulan terakhir, negara kita dibanjiri proses penegakan hukum yang menjadi sorotan publik, mulai dari kasus suap dan gratifikasi yang menjerat mantan Sekretaris Mahkamah Agung Hasbi Hasan, korupsi PT Timah periode 2015-2022 yang ditangani oleh Kejaksaan Agung mengakibatkan kerugian negara mencapai Rp300 Triliun, dan korupsi di korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang di Pertamina Patra Niaga.

Tidak hanya itu, beberapa waktu lalu, oknum dari MA mencoreng citra penegakan hukum di Indonesia, dengan ditangkapnya bekas pejabat MA Zarof Ricar dalam kasus dugaan suap vonis bebas Gregorius Ronald Tannur, serta tiga hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya yang memberikan vonis bebas kepada Ronald dalam kasus pembunuhan Dini Sera.

Mungkin, beberapa kasus ini memberikan tanda kepada rakyat kecil, bahwa sebenarnya tugas penegakan hukum di Indonesia belum berjalan sebaik yang diharapkan. Orang yang seharusnya memberikan penegakan hukum, justru menjadi pelaku yang terlibat dalam perusakan hukum.

Berbicara penegakan hukum sebenarnya tidak hanya memberikan rasa keadilan kepada masyarakat, namun penegakan hukum adalah cara yang dapat membawa negara ini menuju kesejahteraan, kemakmuran, dan pemerataan.

Salah satu penegakan hukum yang mungkin jarang terdengar di masyarakat adalah Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Tindak pidana yang satu ini adalah yang jarang disoroti masyarakat karena kurangnya pemahaman tentang tindak pidana pencucian uang, padahal tindak pidana inilah yang paling kejam memberikan ketidakadilan di dalam sosial masyarakat.

Hal tersebut bahkan dipertegas di bagian menimbang Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, bahwa tindak pidana Pencucian Uang tidak hanya mengancam stabilitas perekonomian dan integritas sistem keuangan, tetapi juga dapat membahayakan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara berdasarkan Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945.

Bahasa sederhananya, Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) adalah uang yang berasal dari tindakan kejahatan, disembunyikan dan disamarkan, hingga akhirnya uang tersebut seolah-olah diperoleh dengan cara yang bersih.

Dalam pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang TPPU, disebutkan bahwa hasil tindak pidana yang dimaksud adalah berasal dari korupsi, penyuapan, narkotika, psikotropika, penyelundupan tenaga kerja, dan beberapa tindak pidana lainnya yang disebutkan dalam undang-undang.

Pasal 2 UU TPPU memberikan definisi yang lebih luas lagi bahwa aliran uang yang berasal dari tindak pidana nasional dalam negeri, namun berasal dari aliran kejahatan berskala internasional. Hingga saat ini, stigma pencucian uang yang ada di masyarakat hanyalah berasal dari kejahatan korupsi yaitu anggaran negara APBN/APBD, padahal pencucian uang bisa berasal dari banyak kejahatan lainnya yang diatur oleh undang-undang dan nilainya sangat besar.

Ambiguitas Penegakan Hukum
Secara terminologi hukum, tindak pidana pencucian uang dikenal dengan istilah follow up crime, yang artinya bahwa kejahatan ini terjadi sebagai akibat atau kelanjutan dari tindak pidana asal (predicate crime) yang menghasilkan pencucian uang. Tindak pidana asal tersebut atau secara terminologi hukum disebut predicate crime kemudian didefinisikan dalam pasal 2 UU TPPU.

Sejauh ini, pencucian uang di Indonesia masih di tengah ambiguitas dan lemahnya penegakan hukum. Di antara kalangan pakar dan pembuat undang-undang pun, masih mengalami kebingungan dengan mekanisme, pendefinisian, hingga praktik di lapangan penegakan tindak pidana pencucian uang.

Di kalangan pakar pun masih belum ada pemahaman yang bulat, apalagi di masyarakat yang belum mengetahui secara jelas pemahaman terkait tindak pidana pencucian uang. Masyarakat hanya meraba-raba nilai fantastis yang disebut di media-media, tanpa tahu sebenarnya pencucian uang tersebut berasal dari mana.

Selain itu, bahwa salah satu kendala minimnya penegakan hukum kasus pencucian uang adalah karena proses penyidikannya yang cukup lama sehingga menghambat proses penyampaian perkara dari tindak pidana asalnya, sehingga banyak penyidik yang tidak menjalankan penyidikan TPPU. Dalam praktiknya, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) seringkali dihadapkan pada keterbatasan kewenangan yang signifikan.

Salah satu kelemahan mendasar adalah bahwa lembaga ini tidak memiliki otoritas untuk melakukan penyidikan atau penuntutan langsung atas kasus pencucian uang. Fungsi PPATK terbatas pada analisis dan pelaporan, yang kemudian bergantung pada respons aparat penegak hukum untuk menindaklanjutinya. Sayangnya, tidak jarang laporan hasil analisis PPATK tidak ditindaklanjuti dengan optimal.

Yang tidak banyak diketahui oleh masyarakat adalah indikasi pencucian uang kerap sekali terjadi melalui aktivitas e-commerce, judi daring, transaksi fiktif perusahaan, dan lain sebagainya.

Misalkan, seorang pelaku usaha di e-commerce baru mendirikan bisnisnya di tahun pertama, sudah menghasilkan aset dan keuntungan hingga puluhan miliar, namun ketika dilakukan pengecekan validitas usaha, jumlah transaksi, serta kepemilikan sah, tidak dapat dibuktikan, artinya ada indikasi tindak pidana di dalamnya yang berpotensi menjadi pencucian uang.

Lantas, sebagai pertanyaan kontemplatif, "Sampai kapan pemerintah serius menegakkan pencucian? Sampai kapan ketimpangan semakin lebar ini dibenahi,di satu sisi semakin banyak orang kaya baru dari hasil kejahatan, di sisi lain orang miskin semakin miskin karena tidak punya potensi dan pilihan hidup?

Keseriusan Membenahi
Lain lagi, dengan pola-pola indikasi pencucian uang yang terjadi, seperti seseorang yang 'kaya mendadak' namun tidak bisa membuktikan kepemilikan hartanya, perusahaan yang menerima aliran dana namun tidak bisa membuktikan keberadaan aset perusahaan, dan lain sebagainya. Tidak ada kata lain selain perlunya perbaikan penegakan dan pemberantasan pencucian uang.

Pencucian uang memberikan dampak sosial yang sangat destruktif. Ketika pelaku kejahatan bisa hidup mewah tanpa konsekuensi hukum yang berarti, hal ini menciptakan disonansi sosial. Norma kerja keras, kejujuran, dan integritas perlahan tergerus oleh godaan uang instan.

Masyarakat yang menyaksikan fenomena ini mungkin mulai meragukan nilai-nilai moral tradisional, karena bukti di lapangan menunjukkan bahwa kejahatan seolah-olah lebih menguntungkan daripada kerja keras yang jujur.

Fenomena 'orang kaya mendadak' dari hasil kejahatan juga menciptakan ketimpangan sosial yang mencolok. Mereka yang mengandalkan jalur ilegal untuk memperkaya diri bisa melonjak drastis ke kelas sosial atas, sementara mereka yang bekerja keras di jalur legal justru terjebak di kelas bawah tanpa peningkatan signifikan. Ketimpangan ini memicu kecemburuan sosial, potensi konflik horizontal, dan degradasi moral secara kolektif.

Tentu, dimulai dari adanya pemahaman yang serupa serta mekanisme penegakan pencucian uang yang sama antara penegak hukum. Para pakar harus kembali memikirkan ulang substansi penegakan pencucian uang melalui revisi Undang-Undang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, di mana meluruskan adanya persepsi yang berbeda di antara para penegakan hukum dalam praktik penegakan di lapangan.

Lemahnya kapasitas dan kewenangan PPATK dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang harus menjadi fokus pemerintahan saat ini. Tanpa reformasi yang signifikan, upaya pemberantasan pencucian uang akan terus menghadapi hambatan struktural yang merugikan negara dan masyarakat.

Perlu dipertimbangkan revisi undang-undang yang memberikan kewenangan lebih besar kepada PPATK, termasuk kewenangan melakukan penyidikan awal terhadap kasus yang berindikasi kuat sebagai tindak pidana pencucian uang. Dengan begitu, PPATK tidak hanya berfungsi sebagai lembaga analisis dan pelapor, tetapi juga memiliki kemampuan operasional dalam proses penegakan hukum.

Pemberantasan pencucian uang masih harus menjadi perhatian serius pemerintah, selain memberikan ketidakadilan di dalam masyarakat, tentu pencucian uang juga bisa berpotensi menjustifikasi memperoleh uang yang hasilnya berasal dari kejahatan adalah 'sah-sah saja', karena lemahnya penegakan hukum dalam pencucian uang.

Pencucian uang bukan hanya kejahatan finansial biasa. Ia adalah ancaman nyata yang merusak keadilan sosial, memperparah ketimpangan, dan semakin menumpulkan hukum. Ketika penegakan hukum berjalan sunyi dan senyap, kejahatan akan terus tumbuh dan merajalela.

Oleh karena itu, perlu ada gerakan kolektif, baik dari pemerintah, aparat penegak hukum, maupun masyarakat, untuk bersama-sama melawan pencucian uang, serta menjaga tatanan sosial yang berkeadilan dan berintegritas.


(miq/miq)

Read Entire Article
| | | |