Perdana Menteri Lengser Usai Terjerat Skandal Gaya Hidup Mewah Anak

3 days ago 50

Jakarta, CNBC Indonesia - Perdana Menteri Mongolia Oyun-Erdene Luvsannamsrai resmi mengundurkan diri setelah gagal memperoleh dukungan mayoritas dalam pemungutan suara kepercayaan di parlemen.

Media lokal ikon.mn melaporkan bahwa dalam voting yang digelar Selasa (11/6) dini hari, Oyun-Erdene hanya memperoleh 44 suara, jauh dari ambang batas 64 suara yang dibutuhkan untuk mempertahankan posisinya.

Pengunduran diri Oyun-Erdene juga dikonfirmasi oleh Kedutaan Besar Mongolia di Washington, yang menyatakan bahwa proses telah dilakukan sesuai dengan ketentuan konstitusi negara.

Pemungutan suara ini berlangsung setelah beberapa pekan protes publik yang dipicu oleh laporan mengenai dugaan pengeluaran mewah putra Perdana Menteri, yang memunculkan kemarahan luas di tengah masyarakat. Gelombang protes itu memunculkan tuntutan agar Oyun-Erdene meletakkan jabatannya.

Dalam pidatonya sebelum voting, Oyun-Erdene mengingatkan bahwa pemakzulan dirinya dapat membawa dampak serius terhadap stabilitas pemerintahan dan masa depan demokrasi di Mongolia yang masih muda.

"Jika pemerintahan menjadi tidak stabil, situasi ekonomi memburuk, dan partai politik tidak dapat mencapai konsensus, maka publik bisa kehilangan kepercayaan terhadap sistem parlemen, dan ini berisiko mengguncang sistem demokrasi parlementer kita," ujarnya, dikutip dari The Guardian.

Ia juga membela integritas kepemimpinannya, namun mengakui telah membuat kesalahan dalam menyeimbangkan prioritas pemerintahan.

"Saya terlalu banyak mencurahkan perhatian pada proyek-proyek besar, tetapi kurang memperhatikan isu sosial dan dinamika politik internal," kata Oyun-Erdene.

Oyun-Erdene telah menjabat sebagai perdana menteri selama empat tahun dan sebelumnya berhasil bertahan dari beberapa tuntutan pengunduran diri. Namun, kali ini posisinya tak terselamatkan, terlebih setelah reformasi pemilu tahun lalu yang memperbesar parlemen dari 76 menjadi 126 kursi.

Reformasi tersebut menciptakan pemerintahan koalisi, yang justru memperlemah basis dukungan stabil bagi pemerintahannya.

Adapun Mongolia yang terkurung daratan antara Rusia dan China telah berupaya membangun sistem demokrasi sejak runtuhnya Uni Soviet. Selama era Perang Dingin, Mongolia merupakan negara komunis dengan sistem satu partai.

Namun, sejak 1990-an, negara ini mulai bertransisi ke arah sistem parlementer dan pemilu multipartai.

Selain itu, akar dari ketegangan politik ini tidak hanya bersumber dari isu etika pribadi, tetapi juga mencerminkan kekecewaan mendalam rakyat Mongolia terhadap ketimpangan ekonomi. Para demonstran menyatakan bahwa kekayaan sumber daya mineral negara hanya dinikmati oleh elite bisnis dan segelintir kelompok kaya, sementara mayoritas rakyat masih hidup dalam kemiskinan.

"Sangat sulit membangun fondasi demokrasi ketika negara juga harus menangani masalah ekonomi yang kompleks," kata Erin Murphy, Wakil Direktur dan Peneliti Senior bidang ekonomi Asia di Center for Strategic and International Studies (CSIS).

Murphy menambahkan bahwa meskipun demokrasi di Mongolia belum berkembang sepenuhnya, "ia mulai berakar."

"Kita masih harus menunggu dan melihat bagaimana pemerintahan baru akan menangani berbagai tantangan ini," tambahnya.

Belum ada pernyataan resmi mengenai siapa yang akan menggantikannya. Proses penunjukan perdana menteri baru akan melibatkan negosiasi antar partai dalam parlemen yang terpecah, yang berpotensi memperpanjang ketidakpastian politik.


(luc/luc)

Saksikan video di bawah ini:

Video: Anak Buah Trump Mundur Usai Rencana AS Serang Houthi Bocor

Next Article Trump Divonis Bersalah, Jadi Presiden Pertama AS Berstatus Terpidana

Read Entire Article
| | | |