Petani Sawit Tolak Biodiesel B50, Minyak Goreng Terancam Langka-Mahal

3 hours ago 1

Jakarta, CNBC Indonesia - Petani sawit menolak rencana pemerintah menaikkan kewajiban penggunaan bahan bakar minyak (BBM) campuran solar dengan bahan bakar nabati sawit sebesar 50% atau biodiesel 50 (B50). Saat ini, mandatory atau yang berlaku wajib adalah campuran 40% atau B40.

Saat ini, rencana mandatory B50 ini sedang dalam tahap finalisasi dan pemerintah tengah merumuskan formulasi harga yang tepat bersama Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) Kelapa Sawit (KS), dengan target tidak membebani konsumen dan industri.

Mandatory B50 ini diharapkan bisa memangkas ketergantungan RI atas impor energi. Kementerian ESDM menargetkan mandatory B50 dapat diterapkan pada tahun 2026 nanti. Dengan proyeksi, kebutuhan FAME untuk penerapan B45 diproyeksikan sekitar 17 juta kiloliter, sementara untuk kebutuhan B50 akan meningkat menjadi sekitar 19 juta kiloliter.

Karena itu, kata Ketua Umum Perkumpulan Organisasi Petani Sawit Indonesia (POPSI) Mansuetus Darto, pihaknya menolak rencana pemerintah menaikkan mandatory biodiesel dari B40 menjadi B50.

"POPSI menilai kebijakan ini berpotensi menimbulkan dampak serius terhadap pasokan bahan baku industri pangan, keseimbangan keuangan Dana Perkebunan
(BPDP), serta kesejahteraan petani sawit rakyat," kata Ketua Umum POPSI Mansuetus Darto dalam keterangannya kepada CNBC Indonesia, Senin (27/10/2025).

"Kenaikan B50 akan mengganggu pasokan untuk industri pangan. Peningkatan campuran biodiesel hingga B50 akan meningkatkan serapan CPO (Crude Palm Oil/ minyak sawit mentah) di sektor energi, sehingga pasokan untuk industri pangan berkurang," tambahnya.

Dia menambahkan, masih adanya stok tidak bisa dijadikan sebagai alasan untuk menaikkan mandatory B50.

Bahkan, lanjutnya, meski B50 diarahkan memaksimalkan penggunaan brondolan sawit (buah kelapa sawit yang panen mentah/ busuh, berjatuhan di sekitar pohon). Memang, imbuhnya, brondolan dapat dikelola dan digunakan untuk biodiesel. Sehingga, petani tidak merugi karen tidak ada panen atau tandan buah segar (TBS) yang terbuah dibuang.

Hanya saja, sambungnya lagi, kapasitas B50 terlalu besar, sehingga tetap akan mmebantu mencegah terjadinya gangguan di rantai pasok.

"Kalau konsumsi sawit untuk biodiesel terus dinaikkan, otomatis pasokan untuk industri minyak goreng dan pangan akan menipis. Ini akan menekan pelaku industri dan masyarakat karena harga minyak makan bisa naik lagi. Pemerintah perlu hati-hati dan tidak hanya melihat sisi energi," kata Mansuetus.

"Harga CPO akan naik. Sementara, banyak yang buat (produsen) minyak goreng yang tidak punya kebun. Mereka akan beli CPO, harga minyak goreng bisa terganggu. DMO (domestic market obligation/ wajib pemenuhan dalam negeri)," ucapnya.

Belum lagi, imbuh dia, subsidi biodiesel akan membengkak dan mengorbankan program petani.

"Hal ini akan memperkecil porsi dana untuk program petani seperti replanting (peremajaan sawit rakyat), sarana prasarana, dan penguatan SDM. Selama ini hampir 90% dana BPDP digunakan untuk subsidi biodiesel, sementara program bagi petani hanya sekitar 8%. Kalau subsidi terus ditambah, nasib petani makin terpinggirkan," katanya.

"Dana BPDP harus lebih berpihak kepada petani, agar pemerintah mengalokasikan dana yang lebih besar untuk program petani sawit rakyat. Selama ini, mayoritas dana digunakan untuk industri energi, sementara kebutuhan riil petani seperti bibit unggul, pupuk, infrastruktur, dan peremajaan kebun belum terpenuhi dengan baik. Kami meminta pemerintah menyeimbangkan kembali prioritas penggunaan dana BPDPKS. Petani harus menjadi subjek utama, bukan sekadar penonton dari kebijakan biodiesel,"
tukasnya.

Karena itu, dia mendesak pemerintah agar 50% untuk dana BPDP untuk program petani, sebagai pengamalan Undang-Undang (UU) Perkebunan No 39/2014 Pasal 93 yang mengatur penghimpunan dana perkebunan dari pelaku usaha perkebunan.

"Dana ini digunakan untuk membiayai kegiatan seperti pengembangan sumber daya manusia, penelitian dan pengembangan, promosi, peremajaan, sarana dan prasarana, serta pengembangan perkebunan lainnya sesuai mandat yang diberikan oleh Undang-Undang," katanya.

"Walaupun tidak menyebut 50% tapi pasal itu tidak sebutkan sama sekali soal biodiesel," tukas Mansuetus.

Tak hanya itu, dia juga mengusulkan mandatory biodiesel di Indonesia juga sebaiknya cukup hanya sampai B30.

"Sebaiknya B30 saja. Ini belum lagi ekspansi lahan nantinya. Deforestasi lagi. Jadi isu buruk lagi," katanya.

"Maksimalkan supply dari petani, kerja sama perusahaan dan petani," ucap Mansuetus.

Konsumsi Minyak Sawit B40

Sebagai informasi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menetapkan alokasi B40 sebesar 15,6 juta kiloliter (kl) untuk tahun 2025. Jumlah tersebut terdiri dari 7,55 juta kl untuk Public Service Obligation atau PSO dan 8,07 juta kl untuk non-PSO. Angka ini mencapai 81% dari total kapasitas pabrik biodiesel RI.

Sementara itu, mengutip data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) sepanjang Januari-Juli 2025, konsumsi minyak sawit untuk biodiesel domestik tercatat sudah mencapai 7,23 juta ton, naik dari periode sama tahun 2024 yang tercatat sebanyak 6,44 juta ton. Sepanjang tahun 2024, konsumsi minyak sawit untuk biodiesel mencapai 11,44 juta ton.

Sedangkan untuk ekspor, konsumsi minyak sawit untuk biodiesel pada periode Januari-Juni 2025 tercatat nol alias tidak ada. Sedangkan sepanjang tahun 2024 tercatat sebanyak 73.000 ton.

Di sisi lain, konsumsi minyak sawit untuk pangan domestik sepanjang Januari-Juli 2025 tercatat mencapai 5,77 juta ton, naik tipis dari periode sama tahun 2024 yang sebanyak 5,76 juta ton. Sepanjang tahun 2024 volumenya mencapai 10,20 juta ton.


(dce/dce)
[Gambas:Video CNBC]

Next Article Bahlil Sebut RI Bisa Terbebas dari Impor Solar, Asalkan...

Read Entire Article
| | | |