QRIS Tap: Menjaga Literasi untuk Mendukung Inklusi Keuangan

3 days ago 50

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

QRIS Tap: Inovasi Sistem Pembayaran Digital
"Nit." Suara itu kini menjadi bagian dari keseharian, cepat, dan nyaris tak terdengar. Dalam hitungan 0,3 detik, masyarakat melintasi gerbang transportasi umum, membayar kopi pagi mereka, hingga belanja kebutuhan harian. Semua dilakukan hanya dengan satu gerakan ringan di ponsel, tanpa sempat melirik saldo di rekening bank. Dunia bergerak cepat, dan begitu pula cara kita bertransaksi.

Sistem Pembayaran Indonesia kembali menunjukkan taringnya melalui inovasi yang memudahkan pelaku usaha atau masyarakat melakukan transaksi dengan cepat, mudah, murah, aman, dan andal. Pada tanggal 14 Maret 2025, Bank Indonesia (BI) meluncurkan inovasi baru berupa Quick Response Code Indonesia Standard (QRIS) berbasis Near Field Communication (NFC) yang kemudian dikenal dengan QRIS Tap. QRIS Tap sendiri merupakan layanan pembayaran yang menggabungkan teknologi consumer presented mode (CPM) dengan NFC.

Berbeda dengan QRIS scan barcode sebelumnya, pada saat ingin melakukan transaksi, masyarakat perlu untuk melakukan scanning barcode QRIS yang telah disediakan oleh merchant. Pada QRIS Tap ini, pengguna cukup dengan mendekatkan dan menempelkan ponselnya ke mesin pembaca. Hanya kurang lebih 0,3 detik, transaksi pun dapat diselesaikan.

Antusiasme masyarakat terhadap QRIS Tap ini pun terlihat sejak kali pertama diluncurkan pada 14 Maret 2025. Deputi Gubernur BI Filiningsih Hendarta, menjelaskan jumlah pengguna QRIS Tap sudah mencapai 20,8 juta dengan merchant sebanyak 1,44 juta per 16 April 2025. QRIS Tap akan diarahkan untuk perluasan merchant seperti diluaskan ke berbagai lini transportasi umum seperti KRL, MRT, LRT, dan lainnya.

Inklusi Keuangan vs Literasi Keuangan
Ketersediaan QRIS Tap dapat membantu mendorong peningkatan inklusi keuangan. Sebagai contohnya mempermudah akses layanan keuangan pada UMKM yang mengalami kesulitan atau tantangan dengan akses transaksi non-tunai seperti kredit dan lainnya. Melalui QRIS Tap ini juga diharapkan mampu memperluas jangkauannya hingga wilayah yang masih terbatas dalam pelayanan keuangan formal.

Peningkatan inklusi keuangan yang masif sayangnya belum diikuti dengan keseimbangan literasi keuangan masyarakat Indonesia. Jika melihat data hasil Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) yang diselenggarakan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bersama dengan Badan Pusat Statistik (BPS), indeks literasi keuangan masyarakat Indonesia berada di rentan sekitar 65% sedangkan untuk inklusi keuangan berada di kisaran 75%. Wakil Ketua Dewan Komisioner OJK Mirza Adityaswara menyampaikan bahwa jika dibagi per sektor jasa keuangannya akan terlihat jomplang.

Dampak negatif dari rendahnya literasi keuangan sendiri bisa jadi adanya kecenderungan individu tidak memiliki perencanaan keuangan yang baik. Kemudahan dalam bertransaksi adalah hal yang diharapkan oleh masyarakat, namun kemudahan itu juga perlu diikuti oleh financial planning yang jelas agar tidak terjadi impulsive buying. Kita bisa membayangkan volume transaksi QRIS yang umum pada kuartal III 2024 saja bisa mencapai 4,08 miliar atau 163,63% dari target yang ditetapkan.

Jika kita melintas negara lain, mengutip dari Daniel Lobato dalam joint SGD Fund, studi yang dilakukan oleh Programme for International Student Assessment (PISA) menemukan bahwa satu dari lima siswa tidak memiliki dasar keterampilan keuangan dasar. Studi lain di Amerika Serikat dari Greenlight mengidentifikasikan bahwa sekitar 74% remaja tidak percaya diri dengan pendidikan keuangan mereka.

Survei "Eurobarometer" dari Uni Eropa juga menemukan bahwa hanya 21% responden sepenuhnya setuju dengan pernyataan "belum menetapkan tujuan keuangan jangka panjang". Adapun Data dari survey GoodStats menunjukan hanya 30,1% responden tercatat memiliki tabungan sedangkan 69,9% sisanya tidak menabung.

Data-data baik di Indonesia ataupun bahkan survei di negara maju mengindikasikan memang literasi keuangan yang dimiliki masyarakat umum perlu diperhatikan. Bisa saja terdapat beberapa faktor lain krusial yang menyebabkan sulitnya menabung.

Oleh karena itu pertanyaan mendasar bagi kita semua adalah di saat inklusi keuangan kita sudah tinggi, siapkah kita untuk turut meningkatkan literasi keuangan kita juga mengingat dampak negatif yang dapat terjadi ketika terjadi gap antara keduanya?

Sinergi BI, OJK, pemerintah, dan masyarakat
Jika kita melihat contoh yang dilakukan di Skotlandia dan Irlandia Utara, pemahaman mengenai literasi keuangan bahkan sudah dimulai dan dimasukkan ke dalam kurikulum sejak individu berumur empat tahun. Bahkan mengutip dari Kompas berdasarkan CFP dan Pendiri 11 Financial Taylor Kovar, pada usia tiga tahun anak-anak sudah dapat diajari perbedaan antara kebutuhan dan keinginan.

Di Indonesia, literasi keuangan pun sudah mulai dimasukkan ke dalam kurikulum merdeka. Di sisi lain seperti yang dilakukan BI, BI memang sudah sering melakukan sosialisasi mengenai literasi keuangan.

Seperti contohnya upaya BI dalam meningkatkan literasi keuangan adalah kehadiran BI-Class yang bergerak di sektor pendidikan yang bekerjasama dengan perguruan tinggi. Tidak hanya BI, namun OJK dan pemerintah bersama BI bersinergi bersama untuk mencapai peningkatan literasi keuangan masyarakat.

Upaya instansi negara seperti BI, OJK, dan pemerintah perlu mendapat dukungan berupa kesadaran diri pada elemen masyarakatnya. Karena pada hakikatnya, implementasi mengenai pemahaman keuangan memiliki tantangan tersendiri.

Kita memang perlu bangga dengan adanya inovasi sistem pembayaran seperti QRIS Tap. Namun, agar penggunaan QRIS Tap ini dapat dimanfaatkan secara optimal maka perlu juga peningkatan mengenai "literasi keuangan".


(miq/miq)

Read Entire Article
| | | |