Jakarta, CNBC Indonesia - Aktivitas pertambangan nikel di kawasan Raja Ampat, Papua, menuai polemik. Pasalnya aktivitas tersebut disebut-sebut mengancam ekosistem alam sekitar. Raja Ampat yang merupakan kawasan wisata nan indah terancam rusak.
Pemerintahan Presiden RI Prabowo Subianto akhirnya resmi menyetop dengan permanen kegiatan pertambangan milik empat Izin Usaha Pertambangan (IUP) di Raja Ampat, Papua Barat Daya, pada Selasa (10/6/2025).
Sejarah membuktikan daya tarik orang terhadap hasil bumi di Raja Ampat tak hanya baru-baru ini terjadi. Namun, sudah terjalin mapan sejak ratusan tahun lalu. Bahkan jadi rebutan banyak orang.
Sejarawan Bernarda Meteray dalam Nasionalisme Ganda Orang Papua (2012) menyebut, sebelum kedatangan orang Eropa pada abad ke-16, kepulauan Raja Ampat sudah menjadi daerah kompetisi antara para Sultan di Maluku, khususnya dari Ternate dan Tidore.
Ini disebabkan karena Raja Ampat adalah lokasi 'harta karun' dari hasil bumi sangat potensial, yakni rempah-rempah, hasil perkebunan dan perikanan. Hasil bumi tersebut sangat penting untuk eksistensi kerajaan-kerajaan pada masa itu. Siapapun yang menguasai kedua 'harta karun' tersebut maka dipastikan bakal sejahtera.
Persaingan memperebutkan Raja Ampat akhirnya berakhir dan dimenangkan oleh Kesultanan Tidore. Sekitar abad ke-15, Tidore berhak memiliki wilayah Raja Ampat.
Antropolog Leonard Y. Andaya dalam riset berjudul The World of Maluku (1993) mengisahkan bahwa selama masa kekuasaannya atas Raja Ampat, Kesultanan Tidore memanfaatkan wilayah tersebut untuk meraih kekayaan dan meningkatkan kesejahteraan.
Tidore menjadikan sektor perikanan dan rempah-rempah sebagai komoditas utama ekspor. Selain itu, Tidore juga menjadikan warga lokal sebagai budak dan mengirimnya ke berbagai wilayah di luar kepulauan untuk mendapat keuntungan.
"Pada masa itu, kepulauan Raja Ampat sangat penting bagi Sultan Tidore untuk mengumpulkan komoditi ekspor," ungkap Bernarda Meteray.
Sejarawan Adnan Amal dalam Kepulauan Rempah-Rempah (2007) menceritakan, eksistensi Tidore di Raja Ampat sempat terancam oleh VOC yang tiba pada tahun 1667. VOC diketahui ingin menguasai juga wilayah Raja Ampat.
Namun, Sultan Tidore Saifuddin akhirnya berhasil mempertahankan wilayah Raja Ampat usai mengadakan perjanjian bersama VOC. Akhirnya, kedua pihak sepakat atas dua hal, yakni pengakuan VOC terhadap kedaulatan Tidore atas Raja Ampat dan penyerahan hak monopoli rempah-rempah Tidore kepada VOC.
Dari sini, diketahui bahwa 'harta karun' di Raja Ampat tetap dimanfaatkan oleh Tidore dan warga lokal Papua. Hanya saja, tulis riset Ekspedisi Tanah Papua (2008), mereka hanya mengambil serba sedikit dari apa yang disediakan alam.
Proses eksploitasi skala besar atas sumber daya alam di Raja Ampat atau Papua secara umum baru terjadi pada abad ke-21 atau sekitar tahun 1930-an. Kala itu, pemerintah kolonial Belanda sudah melihat besarnya potensi ekonomi di wilayah Indonesia Timur itu.
Pada 1935, Belanda sudah melakukan pengeboran minyak di Sorong. Keputusan Belanda melakukan eksploitasi sumber daya alam di Papua merupakan langkah berbeda dari ratusan tahun lalu.
Hitung mundur ke abad ke-16, orang Belanda, Spanyol, Portugis, Jerman, hingga Inggris, awalnya ogah berdiam diri dalam waktu lama di Papua. Penyebabnya karena mereka takut terkena wabah penyakit mematikan.
Dari sinilah, tanah Papua dan segala potensi ekonomi di dalamnya tak dilirik. Barulah ketika teknologi sudah maju, Belanda sebagai penguasa tunggal mulai berani melakukan eksplorasi dan menemukan beragam harta karun terpendam lain.
(mfa/mfa)
Saksikan video di bawah ini:
Video: Lirik Prospek Bisnis Produk Perawatan Rambut Lokal Go Global
Next Article Harta Karun Rp 15 T Diambil Pemerintah RI, Penemu Dibiarkan Melarat