Jakarta, CNBC Indonesia - Lembaga Penyelidikan Ekonomi Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia (UI) berpandangan fenomena tumbuhnya gig economy atau 'ekonomi informal' di Indonesia di dorong oleh banyaknya korban PHK yang masuk ke dalamnya.
Menurut LPEM ketika lapangan kerja formal mengalami tekanan, baik akibat pelambatan ekonomi global, restrukturisasi perusahaan, maupun otomatisasi, banyak pekerja terdampak yang beralih ke sektor informal digital atau yang dikenal sebagai gig economy.
"Platform seperti Gojek, Grab, ShopeeFood, TikTok Shop, dsb., menjadi pilihan cepat untuk tetap memperoleh penghasilan, terutama di perkotaan. Pekerja yang kehilangan pekerjaan formal, khususnya di sektor manufaktur dan jasa, cenderung beralih menjadi pengemudi ojek daring, kurir, content creator, hingga reseller online," tulis LPEM dalam laporan Labor Market Brief, dikutip Rabu (4/6/2025).
Akan tetapi, LPEM menilai pilihan ini bukan tanpa konsekuensi. Survei menunjukkan bahwa sebagian besar pekerja gig bekerja dalam jam kerja yang sangat panjang. Seperti terlihat pada grafik di bawah, sekitar 28,4% responden menyatakan bekerja selama 13-14 jam per hari, dan 24,4% lainnya bekerja 11-12 jam per hari.
"Hanya sebagian kecil yang bekerja kurang dari 8 jam per hari. Data ini mengindikasikan bahwa meskipun fleksibel, pekerjaan di gig economy sering kali menuntut waktu kerja yang melebihi rata-rata pekerja formal, dengan pendapatan dan perlindungan sosial yang jauh lebih minim," ungkap LPEM.
Fenomena ini menyoroti pentingnya peran kebijakan dalam menyediakan perlindungan dan regulasi kerja yang lebih adil bagi jutaan pekerja di sektor gig yang kini menjadi tulang punggung baru dalam pasar kerja informal Indonesia.
LPEM mengakui meskipun belum ada statistik resmi yang spesifik memetakan gig worker, tetapi berbagai survei menunjukkan bahwa platform digital menyerap jutaan tenaga kerja, sebagian besar di antaranya berasal dari kelompok usia muda, lulusan SMA/SMK, dan eks-pekerja formal.
Dari sisi kebijakan, LPEM menilai peralihan ke pekerjaan gig ini bersifat ambivalen.
"Di satu sisi, platform digital memberi ruang fleksibilitas dan penyerapan tenaga kerja pasca PHK. Namun di sisi lain, status kerja yang tidak terlindungi, jam kerja panjang, serta pendapatan yang fluktuatif menjadikan gig economy sebagai solusi yang "sementara tapi rapuh", tulis LPEM.
Banyak pekerja gig tidak terdaftar dalam sistem jaminan sosial nasional, dan sebagian besar tidak memiliki perlindungan saat mengalami kecelakaan kerja atau kehilangan penghasilan karena faktor eksternal.
Dalam kondisi seperti ini, gig economy menjadi semacam "buffer zone", area abu-abu antara pengangguran terbuka dan pekerjaan layak.
Melihat tren ini, LPEM merasa pemerintah perlu melihat gig economy tidak hanya sebagai sektor informal baru, tetapi juga sebagai indikator tekanan struktural di pasar kerja formal. Penguatan regulasi perlindungan pekerja gig, integrasi mereka ke dalam sistem jaminan sosial, serta penyediaan jalur mobilitas ke pekerjaan formal harus menjadi bagian dari respons kebijakan ketenagakerjaan pasca-pandemi.
"Jika tidak, risiko terjebaknya jutaan pekerja dalam kondisi kerja yang rentan akan terus meningkat, dan pemulihan ketenagakerjaan hanya terjadi di permukaan angka-angka," tegas LPEM.
(haa/haa)
Saksikan video di bawah ini:
Video: RI Dihantam Badai PHK, Jumlah Pengangguran Naik
Next Article Menkeu Era SBY Beberkan Alasan Kelas Menengah Terus Turun