Taipei, CNBC Indonesia - Ribuan pekerja migran dari berbagai negara, termasuk Indonesia, Filipina, Thailand, Vietnam, dan Malaysia menggelar long-march dari kantor Kementerian Ketenagakerjaan Taiwan hingga Gedung Parlemen pada Minggu (7/12/2025). Demonstrasi yang digelar dalam rangka Hari Migran Internasional setiap 18 Desember ini mengusung tema penghapusan batas kerja.
Undang-Undang Ketenagakerjaan setempat mengatur bahwa pekerja informal, seperti perawat, buruh pabrik, anak buah kapal, hingga pekerja konstruksi, hanya boleh bekerja paling lama hingga 12 tahun. Pengecualian diberikan kepada perawat hingga 14 tahun. Setelah masa kerjanya habis, mereka harus kembali ke negara asal.
Foto: (CNBC Indonesia/Vanny El Rahman)
Ribuan pekerja migran dari berbagai negara, termasuk Indonesia, Filipina, Thailand, Vietnam, dan Malaysia menggelar long-march dari kantor Kementerian Ketenagakerjaan Taiwan hingga Gedung Parlemen pada Minggu (7/12/2025). (CNBC Indonesia/Vanny El Rahman)
"Bisa teman-teman bayangkan, kita di sini kerja hingga 12 atau 14 tahun. Setelah masa produktif kita habis atau kita menua, kita dibuang begitu saja. Apalag ini namanya kalau bukan eksploitasi dan diskriminasi?" kata Ketua Serikat Buruh Industri Perawatan Taiwan (SBIPT), Fajar, kepada CNBC.
Protes akbar ini digelar setiap 2 tahun sekali sejak 2003. Acara dimulai sejak pukul 12.30 waktu setempat dengan orasi di depan Kementerian Ketenagakerjaan. Selain pekerja migran, demonstrasi turut dihadiri oleh mahasiswa, serikat buruh lokal, berbagai organisasi non-pemerintah, hingga akademisi.
Sepanjang 2,3 kilometer, para peserta aksi menuntut keadilan dan reformasi kebijakan buruh dengan teriakan "hapus batas masa kerja," "hapus agensi," "akui kontribusi kami," hingga "naikkan gaji kami."
Data Kementerian Ketenagakerjaan Taiwan hingga Oktober 2025 menunjukkan bahwa negara ini telah mengimpor 862,184 pekerja asing. Mayoritas berasal dari Indonesia atau sekitar 107,574 untuk sektor manufaktur serta kontruksi dan 223,209 untuk perawat. Mayoritas lainnya berasal dari Filipina, Vietnam, dan Thailand.
Sejak 2022, Taiwan sebenarnya telah menerbitkan kebijakan Mid-Level Technical Workers (Pekerja Teknis Tingkat Menengah/PTTM) yang memberikan kesempatan kepada pekerja untuk masa tinggal hingga lebih dari 12 tahun.
Untuk tersertifikasi sebagai PTTM, para pekerja harus melengkapi sejumlah persyaratan, termasuk telah mengambil tes Mandarin, menuntaskan pelatihan online, batas minimal gaji, serta rekomendasi dari majikan.
"PTTM ini gak adil bagi para pekerja. Kenapa? Karena tidak peduli sebagus apa Mandarin kita, sehebat apa pekerjaan kita, atau seberapa besar gaji kita, kalau majikan tidak kasih rekomendasi, maka kita tidak akan bisa jadi PTTM," ujar Fajar yang telah bekerja di Taiwan selama 12 tahun.
Regulasi juga mengizinkan agensi untuk menarik biaya penempatan kepada para pekerja PTTM yang setara dengan 1 bulan gaji setiap kali ganti majikan.
"Kami ini kan merawat orang tua. Bisa saja dalam setahun kami ganti majikan 3 kali karena mereka mungkin meninggal. Nah, kalau kami ganti majikan 3 kali, maka kami harus bayar biaya penempatan 3 kali juga," jelas Fajar.
"Jadi bagi kami, PTTM ini adalah bentuk eksploitasi lain yang dilegalkan oleh pemerintah Taiwan," sambungnya.
Massa aksi kemudian berkumpul di Gedung Parlemen untuk melakukan aksi teatrikal. Dari atas panggung, sudah ada sejumlah peserta demo yang berkostum bak daging ikan dalam kemasan. Mereka merepresentasikan pekerja informal yang murah, sekali pakai, dan murah.
Peserta lainnya menggendong bom buatan yang bertuliskan durasi kerja mereka. Tulisannya pun beragam dari 3 tahun, 6 tahun, 9 tahun, hingga 12 tahun. Angka-angka tersebut menyimbolkan aturan Taiwan yang sebelumnya mengizinkan para buruh hanya bekerja 3 tahun dengan revisi berkalanya. Adapun bom melambangkan saat 12 tahun selesai, maka mereka seperti barang yang siap meledak dan dibuang.
Demonstran asal Indonesia juga membawakan dua lagu dari panggung, yaitu Buruh Tani ciptaan Safi'i Kemamang dan Bongkar ciptaan Iwan Fals. Rangkaian aksi ditutup dengan para migran yang melemparkan bom yang terbuat dari karton ke dalam parlemen.
"Kami menuntut hak asasi manusia. Kami ingin diperlakukan seperti manusia," kata seorang orator dari Filipina.
"Para perawat bekerja 24 jam untuk merawat pasien. Tapi gaji kami hanya NTD20,000 sementara minimal gaji yang diatur dalam undang-undang adalah NTD28,590," ujar Fajar.
"Kami bukan minta dikasihani. Kami menagih keadilan. Kamilah yang menggerakkan roda ekonomi Taiwan tapi kami tidak diperlakukan adil. Kami ingin bukti dari Taiwan dalam bentuk revisi undang-undang," kata orator Indonesia lainnya yang mewakili pekerja manufaktur.
Di antara peserta aksinya adalah SBIPT, Serikat Buruh Industri Manufaktur (SEBIMA), Nation Domestic Workers Union, Taiwan Grassroots Manufactures Union, GANAS Community, KASAPI dari Filipina, dan masih banyak lainnya. Turut mengorganisir demonstrasi adalah Taiwan International Workers' Association (TIWA).
Artikel ditulis oleh Vanny El Rahman. Mahasiswa program doktoral di jurusan Asia-Pacific Regional Studies, National Dong Hwa University, Taiwan.(hsy/hsy)
[Gambas:Video CNBC]































:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5319082/original/060228700_1755504247-pspr.jpg)



:strip_icc():format(jpeg):watermark(kly-media-production/assets/images/watermarks/bola/watermark-color-landscape-new.png,1125,20,0)/kly-media-production/medias/5339916/original/010495200_1757135510-20250904AA_Timnas_Indonessia_Vs_China_Taipei-108.jpg)

:strip_icc():format(jpeg):watermark(kly-media-production/assets/images/watermarks/bola/watermark-color-landscape-new.png,1125,20,0)/kly-media-production/medias/5339674/original/047240900_1757081733-20250904AA_Timnas_Indonesia_vs_China_Taipei-08.JPG)









:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/4939096/original/049996300_1725747991-000_36FT7CN.jpg)
