Sarjana Menganggur, Ketika Gelar Tak Lagi Jadi Tiket Emas

3 hours ago 2

Jakarta, CNBC Indonesia - Gelar sarjana dulu dipuja, dianggap sebagai pintu menuju masa depan cerah. Namun kenyataan di lapangan berkata lain. Makin banyak lulusan universitas di Indonesia justru masuk dalam lingkaran pengangguran, menunggu tanpa kepastian, di tengah pasar kerja yang kian selektif dan jenuh.

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan tren yang mencemaskan. Pada 2014, jumlah penganggur bergelar sarjana tercatat sebanyak 495.143 orang. Angka ini melonjak drastis menjadi 981.203 orang pada 2020, dan meski sempat turun menjadi 842.378 orang di 2024, jumlah tersebut tetap tergolong tinggi.

Lonjakan terbesar terjadi saat pandemi Covid-19 menerjang. Dunia kerja nyaris lumpuh, rekrutmen dibekukan, dan ribuan lulusan baru terpaksa memulai karier mereka di tengah krisis global. Namun masalahnya jauh lebih dalam dari sekadar pandemi.

Secara angka absolut, lulusan SMA memang masih mendominasi jumlah pengangguran mencapai 2,51 juta orang pada 2023. Tapi para lulusan SMA cenderung lebih fleksibel. Banyak dari mereka yang langsung menyerap peluang di sektor informal atau pekerjaan teknis yang tak menuntut ijazah tinggi.

Berbeda halnya dengan sarjana. Mereka sering terjebak dalam kondisi yang disebut "aspirational mismatch" ketika mimpi, ekspektasi, dan kenyataan tidak bertemu di titik yang sama. Banyak yang enggan menerima pekerjaan di luar bidang studi, atau yang dianggap kurang bergengsi. Mereka lebih memilih menunggu, meski waktu terus berjalan.

Ada pula fenomena "reservation wage gap", di mana lulusan universitas menargetkan gaji atau posisi ideal yang belum tentu tersedia di pasar. Alhasil, mereka terpaksa menunggu lebih lama, dan jumlah pengangguran menumpuk.

Diploma, Jalan Tengah yang Mulai Menunjukkan Taring

Menariknya, lulusan diploma justru menunjukkan tren yang lebih stabil. Pada 2014, jumlah penganggur diploma ada di angka 193.517, naik ke 305.261 pada 2020, lalu turun ke 170.527 orang pada 2024.

Stabilitas ini bukan kebetulan. Pendidikan vokasional atau diploma memang lebih menekankan keterampilan praktis yang relevan dengan kebutuhan industri. Banyak perusahaan lebih suka merekrut talenta yang siap pakai ketimbang lulusan sarjana yang butuh waktu adaptasi.

Masalah utama bukan semata soal jumlah lapangan kerja, tapi ketidaksesuaian keterampilan. Kurikulum perguruan tinggi masih banyak yang belum responsif terhadap perubahan dunia kerja. Koneksi antara kampus dan industri juga kerap lemah. Sementara itu, kewirausahaan belum menjadi budaya kuat di kalangan mahasiswa.

Maka untuk keluar dari krisis ini, perubahan harus dimulai dari hulu. Kampus perlu mendesain ulang pendekatan pendidikannya menekankan keterampilan praktis, digital, kolaboratif, dan membuka lebih banyak kanal magang serta kemitraan dengan industri. Tak kalah penting, mahasiswa perlu dibekali dengan mental pengusaha, bukan hanya pencari kerja.

Fakta bahwa gelar sarjana tak otomatis menjamin pekerjaan bukanlah akhir cerita. Ini justru panggilan untuk transformasi. Jika pendidikan tinggi bisa beradaptasi, dan lulusan mampu menjembatani mimpi dengan kenyataan, maka angka pengangguran sarjana bisa ditekan.

Indonesia tidak kekurangan talenta. Yang dibutuhkan adalah sistem pendidikan yang relevan, ekosistem kerja yang inklusif, dan keberanian untuk berpikir ulang tentang arti sebenarnya dari kesuksesan pasca-wisuda.

CNBC Indonesia Research

(emb/emb)

Read Entire Article
| | | |