Tanda Kiamat di Depan Mata, IMF Ungkap Fakta Tak Terduga

4 hours ago 3

Jakarta,CNBC Indonesia - Suhu Bumi kian panas akibat perubahan iklim yang disebabkan emisi karbon. Januari 2025 lalu tercatat sebagai Januari terpanas sepanjang sejarah, menurut laporan lembaga observasi Bumi Uni Eropa, Copernicus.

Suhu permukaan rata-rata tercatat 13,23 derajat Celcius atau 0,79 derajat Celcius di atas rata-rata Januari 1991-2020. Tak cuma itu, Januari 2025 menunjukkan peningkatan suhu 1,75 derajat Celcius di atas tingkat pra-industri.

Awal 2025 juga menandai bulan ke-18 dalam 19 bulan terakhir yang menunjukkan suhu permukaan udara rata-rata global lebih dari 1,5 derajat Celcius di atas tingkat pra-industri.

Data tersebut menunjukkan pentingnya upaya berbagai pihak untuk bersama-sama menurunkan emisi karbon dan gas rumah kaca. Namun, perkembangan teknologi kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) membutuhkan daya listrik yang besar dan berkontribusi terhadap peningkatan emisi karbon dan gas rumah kaca.

AI dinilai dapat membawa perubahan besar dalam kehidupan manusia. Ada banyak sisi positifnya, tetapi konsekuensinya terhadap perubahan iklim tak bisa dianggap remeh. 

Di tengah dilema tersebut, Dana Moneter Internasional (IMF) mengungkap fakta mengejutkan. IMF menyebut pertumbuhan ekonomi dari AI diprediksi akan menggenjot kenaikan produksi barang dan jasa global (global output) sekitar 0,5% antara tahun 2025 dan 2030.

Angka itu diklaim melebihi biaya yang harus dikeluarkan akibat peningkatan emisi karbon dari fasilitas data center untuk menjalankan model AI.

Laporan IMF yang dirilis dalam pertemuan tahunan di Washington menggarisbawahi peningkatan global output tersebut tak akan tersebar secara seimbang di seluruh dunia. IMF meminta pemangku kebijakan dan pebisnis untuk menurunkan biaya agar dampak pertumbuhan bisa dirasakan secara meluas.

Pada dasarnya, IMF mengindikasikan bahwa pengembangan teknologi AI mendatangkan lebih banyak manfaat ketimbang mudarat.

"Meski ada tantangan terkait harga listrik yang lebih tinggi dan emisi gas rumah kaca, pertumbuhan PDB dari AI kemungkinan lebih besar ketimbang biaya tambahan untuk menanggulangi emisi," menurut laporan IMF, dikutip dari Reuters, Rabu (23/4/2025).

"Biaya sosial dari emisi tambahan terhitung kecil jika dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi yang diharapkan dari AI. Namun, tetap ada kekhawatiran terkait emisi," tertulis dalam laporan bertajuk "Power Hungry: How AI Will Drive Energy Demand".

Pengembangan AI telah mendorong peningkatan permintaan daya listrik dalam beberapa tahun ke depan. Hal ini terjadi di saat dunia masih pontang-panting dalam mereduksi emisi karbon yang membawa petaka di Bumi.

Laporan IMF mencatat bahwa ruang yang didedikasikan untuk gudang-gudang berisi server di Virginia Utara, yang memiliki konsentrasi data center terbesar di dunia, secara kasar sudah setara dengan luas lantai delapan Gedung Empire State.

Diprediksi AI akan membutuhkan listrik global lebih dari 3 kali lipat dibandingkan saat ini, yakni sekitar 1.500 terawatt-hours (TWh) pada 2030 mendatang. Angka itu 1,5 kali lipat lebih besar ketimbang kebutuhan listrik untuk mobil listrik pada periode yang sama.

Peningkatan emisi karbon ini membutuhkan komitmen nyata dari para raksasa teknologi dunia yang berjanji akan mengurangi emisi dari data center dengan meningkatkan penggunaan energi ramah lingkungan.

IMF mengestimasikan AI akan meningkatkan emisi gas rumah kaca sekitar 1,2% antara 2025-2030. Kebijakan energi hijau akan membatasi peningkatan tersebut menjadi 1,3Gt.

Dengan menggunakan angka US$39 per ton untuk mengukur biaya sosial dari emisi tersebut, IMF memperkirakan biaya tambahan tersebut sebesar US$50,7 hingga US$66,3 miliar.

Angka itu lebih kecil dari keuntungan pendapatan yang dikaitkan dengan peningkatan tahunan 0,5% poin pada PDB global yang dikatakannya dapat dihasilkan oleh AI.

Analis independen mengatakan dampak ekonomi dan lingkungan dari AI akan sangat bergantung pada bagaimana AI digunakan. Terutama apakah AI dapat menghasilkan peningkatan efisiensi dalam penggunaan energi atau pola konsumsi keseluruhan yang lebih berkelanjutan.

The Grantham Research Institute on Climate Change and the Environment mengatakan hal itu bahkan dapat menyebabkan pengurangan menyeluruh dalam emisi karbon jika mempercepat kemajuan dalam teknologi rendah karbon di sektor listrik, pangan, dan transportasi.

"Tetapi kekuatan pasar saja tidak mungkin berhasil mendorong penerapan AI menuju aksi iklim," kata rekan kebijakan Grantham, Roberta Pierfederici.

"Pemerintah, perusahaan teknologi, dan perusahaan energi harus berperan aktif dalam memastikan AI digunakan secara sengaja, adil, dan berkelanjutan," katanya.

Ia menekankan perlunya pendanaan R&D dan kebijakan untuk mengatasi ketimpangan yang diperburuk oleh kemajuan AI.


(fab/fab)

Saksikan video di bawah ini:

Video: Regulasi Kian Ketat, Investasi Kripto Syariah RI Menjanjikan?

Next Article Ilmuwan Teriak Kiamat di Depan Mata, Manusia Bisa Habis

Read Entire Article
| | | |