Tarif Baja Trump: Biaya Perang Mencekik dan Industri Pertahanan Tercekik

3 days ago 12

Jakarta, CNBC Indonesia- Kebijakan tarif baja yang kembali digaungkan oleh Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump bukan semata strategi perdagangan bagai irisan tajam antara ambisi industri domestik dan kompleksitas geopolitik global.

Rencana pengenaan tarif 50% atas baja impor, yang diumumkan tanpa aba-aba memang berpotensi memperkuat produsen dalam negeri AS. Namun, kebijakan tersebut bisa menjerat sektor yang bergantung pada kelancaran rantai pasok logam ini termasuk industri galangan kapal militer Amerika Serikat.

BCG (Boston Consulting Group)  dalam laporannya US Tariffs on Steel and Aluminum: Analyzing the Impacts memproyeksikan bahwa setelah semua dampak harga diperhitungkan, tarif baru atas baja dan aluminium akan:

1. Dampak Biaya

  • Menambah biaya sebesar US$ 22,4 miliar untuk produk baja dan aluminium yang diimpor ke AS.

  • Ditambah hingga US$ 29 miliar tambahan untuk produk turunan (derivative products).

2. Ekspansi Volume dan Nilai Produk Terkena Tarif

    • Volume impor yang terdampak akan meningkat dari 7 juta metrik ton menjadi 26 juta metrik ton.

    • Dengan perluasan tarif mencakup produk turunan seperti suku cadang lift, mata pisau buldoser, lampu, dan baja struktural, nilai barang yang dikenai tarif bisa lebih dari dua kali lipat menjadi US$ 72 miliar.

Sektor yang Paling Terkena Dampak?

Industri manufaktur logam AS akan terdampak paling besar, karena menjadi pengguna utama baja dan aluminium impor (masing-masing tergantung impor sebesar 24% untuk baja dan 35% untuk aluminium). Sektor otomotif, mesin industri, konstruksi, serta berbagai sektor barang konsumsi juga akan terdampak signifikan.

William Hauk, seorang profesor ekonomi di University of South Carolina yang meneliti perdagangan internasional, mengatakan bahwa tingkat tarif baru dapat menaikkan harga sebuah mobil sebesar US$ 2.000 hingga US$ 4.000.

Dampak ke Sektor Pertahanan

Baja berkualitas tinggi merupakan komponen esensial dalam produksi berbagai sistem pertahanan, termasuk tank, kapal perang, pesawat tempur, kendaraan lapis baja, rudal, serta infrastruktur militer strategis.

Pengenaan tarif impor terhadap baja dan produk turunannya berpotensi meningkatkan harga bahan baku secara signifikan, yang pada gilirannya mendorong kenaikan biaya produksi alat utama sistem senjata (alutsista). Kontraktor pertahanan utama seperti Lockheed Martin, Raytheon, dan General Dynamics dapat menghadapi tekanan anggaran yang substansial, khususnya bila pasokan baja domestik terbatas atau tidak memenuhi spesifikasi teknis yang dibutuhkan.

Sebagian besar produsen militer AS bergantung pada impor baja khusus yang tidak tersedia secara luas di dalam negeri. Tarif yang tinggi berisiko menimbulkan kelangkaan jenis baja tertentu, seperti baja tahan korosi tinggi dan paduan logam khusus yang digunakan untuk kapal selam, pesawat, dan sistem persenjataan presisi tinggi.

Jika biaya pengadaan sistem pertahanan meningkat secara signifikan, maka implikasinya bisa berupa pembengkakan anggaran program, penundaan jadwal produksi, atau bahkan pengurangan volume pengadaan. Dengan anggaran pertahanan yang sebagian besar bersifat tetap (fixed budget), tekanan biaya ini dapat memaksa pemerintah melakukan reprioritisasi proyek strategis.

Namun, dari sisi lain, kebijakan tarif juga dapat menjadi katalisator untuk mendorong revitalisasi industri baja domestik, terutama bila diiringi dengan kebijakan preferensi nasional seperti "Buy American" dalam kontrak pertahanan. Dalam jangka panjang, langkah ini berpotensi memperkuat kemandirian industri pertahanan AS secara strategis, meskipun akan membutuhkan waktu, insentif kebijakan, dan investasi substansial untuk membangun kapasitas produksi baja yang memenuhi standar militer.

Dalam ranah pertahanan, baja adalah tulang punggung, menyusun struktur kapal selam, kapal induk, hingga frigate kelas Constellation.

Namun, saat harga baja melonjak akibat kebijakan proteksionis, dilema pun mengemuka. Menurut DSM Forecast, biaya dapat membengkak, pengiriman molor, dan rencana ekspansi armada 381 kapal militer AS terancam stagnasi. Proyeksi biaya program kapal selam Virginia class bahkan diprediksi melonjak US$17 miliar atau sekitar Rp 277,19 triliun (US$1= Rp 16.305) dari budget awal hingga 2030.

Sementara itu, aliansi strategis seperti AUKUS (Australia-United Kingdom-United States) pun ikut terseret.

Ketika 35% bahan baku kapal militer AS berasal dari negara sekutu seperti Inggris, Kanada, dan Uni Eropa (UE), tarif ini dapat menimbulkan gesekan baru. Australia, yang berharap pada transfer teknologi kapal selam nuklir dari AS, kini harus bersiap menghadapi lonjakan harga dan potensi keterlambatan risiko yang ironis mengingat tujuan awal kemitraan ini adalah mempercepat respons keamanan di Indo-Pasifik.

Di tengah kompleksitas ini, Indonesia perlu membaca arah angin. Menjadi pemasok baja sekutu AS bisa jadi peluang strategis, namun juga jebakan jangka panjang bila hanya berorientasi pada volume ekspor tanpa menakar ketahanan pasar. Yang lebih penting, krusial bagi RI untuk memperkuat industri hilir agar tak selamanya bergantung pada dinamika luar.

Ketika tarif baja melambung, yang terdengar bukan cuma keluh produsen melainkan gema kekhawatiran dari galangan kapal militer.

Berdampak ke RI?

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan ekspor Indonesia ke AS menunjukkan geliat yang patut diperhatikan.

Sepanjang 2024, ekspor besi dan baja RI ke Negeri Paman Sam naik dua kali lipat secara volume (565 ribu ton), dan melonjak lebih dari US$970 juta secara nilai. Barang-barang seperti slab, billet, hot-rolled coil, dan produk baja nirkarat masuk ke dalam daftar. Kenaikan ini bukan semata hasil daya saing, tetapi juga limpahan permintaan dari negara yang mulai menyaring pemasok berdasarkan kedekatan politik dan bukan semata efisiensi harga.

Namun, lonjakan ini bersifat sementara. Jika AS memperketat seleksi negara sumber dan mendorong substitusi penuh oleh baja domestik, ekspor Indonesia bisa kembali tertekan.

Di sisi lain, baja dari Asia yang gagal masuk AS akan dialihkan ke Eropa, menambah tekanan pada harga dan margin produsen baja lokal di Benua Biru. Efek riaknya terasa global, bukan hanya antar negara, tapi antar sektor: otomotif, energi terbarukan, hingga manufaktur senjata.

CNBC Indonesia Research

(emb/emb)

Read Entire Article
| | | |