Travel Ternama Jebak Jemaah Haji RI, Disuruh Kerja Paksa di Perkebunan

1 day ago 9

Jakarta, CNBC Indonesia -  Tingginya antusiasme umat Muslim Indonesia pergi haji membuka peluang bisnis bagi agen travel swasta untuk membantu perjalanan ke Tanah Suci. Sayang, peluang ini sering disalahgunakan.

Banyak travel menipu jemaah demi keuntungan semata. Modusnya beragam, dari penelantaran hingga yang paling ekstrem, yakni membawa jemaah untuk mempekerjakan mereka secara paksa.

Kasus ini pernah terjadi ratusan tahun lalu oleh travel Al-Segaf yang mengarahkan para jemaah haji untuk kerja paksa di perkebunan. 

Pekerja Paksa

Pada akhir abad ke-19, seorang warga Arab bernama Sayid Muhammad bin Ahmad al-Segaf mendirikan perusahaan travel haji bernama Firma Al-Segaf. Kantornya berpusat di Singapura.

Travel ini berkembang cepat dan menjadi pilihan utama jemaah haji dari Hindia Belanda (sekarang Indonesia) dan Singapura ke Makkah. Nama Al-Segaf memang sudah dikenal luas di kawasan Malaya sebagai pengusaha besar.

Selain travel, dia juga memiliki perkebunan karet di Pulau Cocob, Johor. Gabungan bisnis haji dan perkebunan menjadikannya salah satu orang terkaya di Semenanjung Melayu.

Namun, seiring waktu, bisnis karet mengalami tekanan. Upah buruh melonjak, sehingga perusahaan kesulitan membayar pekerja. Agar kebun tidak terbengkalai, Al-Segaf butuh tenaga kerja murah.

Di sinilah niat buruk muncul ketika melihat peluang dari kesulitan yang dialami para jemaah haji asal Indonesia. 

Sejarawan Henry Chambert-Loir dalam Naik Haji di Masa Silam (2013) menyebut, para jemaah haji Indonesia sering terlantar di Makkah karena kehabisan ongkos perjalanan pulang ke Tanah Air. Ini terjadi karena mereka memaksakan berhaji, tanpa persiapan finansial matang. 

Melihat situasi tersebut, Al-Segaf memanfaatkan celah. Dia menawarkan bantuan berupa pinjaman uang kepada para jemaah agar bisa kembali ke Tanah Air. Namun, ada syaratnya, yakni mengganti nominal uang pinjaman hingga lunas dengan bekerja di perkebunan karet miliknya di Johor. 

Para jemaah yang tergiur jelas menerima tawaran daripada harus terlantar di negara orang. Mereka pun setuju. Berdasarkan "Surat dari Konsul Belanda di Jedah ke Konsul Belanda di Singapura" (27 Juni 1896) diketahui, rata-rata setiap jemaah mendapat pinjaman sekitar US$50 dengan skema cicilan selama 80 kali pembayaran.

Namun, semua itu hanyalah taktik licik Al-Segaf. Sesampainya di perkebunan karet, para jemaah dipaksa bekerja dalam waktu lama dengan upah rendah. Kebutuhan hidup tinggi ditambah kewajiban melunasi cicilan membuat mereka terpaksa mengajukan pinjaman lagi demi bertahan hidup.

Secara matematis, skema ini hampir mustahil dilunasi. Akhirnya, mereka terperangkap dalam lingkaran hutang yang membelenggu. Pada titik inilah mereka terjerat kerja paksa. 

Pemerintah Turun Tangan

Selama berada di Pulau Cocob, para jemaah asal Indonesia hidup dalam kesengsaraan. Mereka terjebak dalam jeratan hutang, kerja paksa dan tanpa kebebasan. Situasi ini berlangsung bertahun-tahun. Jumlah korban pun terus bertambah.

Kondisi memprihatinkan ini akhirnya menarik perhatian pemerintah kolonial. Melalui Konsulat Belanda di Jeddah, kabar tentang nasib para jemaah sampai ke pemerintah Hindia Belanda di Batavia (kini Jakarta). Lalu diteruskan ke pemerintah Belanda di Den Haag. Terakhir sampai ke pemerintah Inggris sebagai penguasa Singapura. 

Masalah ini pun menjadi perhatian serius ketiga pihak, terutama Menteri Luar Negeri Belanda. Dalam arsip "Surat Menteri Luar Negeri Belanda untuk Konsul Belanda di Singapura" tertanggal 10 April 1895, disebutkan kalau sang menteri menaruh fokus besar di kasus ini. 

"Perhatian khusus tertuju pada laporan penjualan para jemaah haji sebagai budak pekerja paksa oleh firma lokal di Singapura terhadap para jemaah asal Hindia Belanda yang tidak mampu membayar ongkos pulang. [...] Saya meminta Yang Mulia melakukan penyelidikan serius." ungkapnya.

Pada saat bersamaan, sebagai respons, Gubernur Jenderal Hindia Belanda mengambil sejumlah langkah untuk menekan agen travel tersebut. Gubernur Jenderal memang tak bisa membebaskan para jemaah dari jeratan utang dan hanya bisa melakukan langkah agar Firma Al-Segaf berhenti beroperasi.

Dia mengusulkan agar semua kapal jemaah haji tidak singgah di Singapura. Lalu mendorong pemerintah Inggris di sana untuk memberlakukan aturan ketat terhadap operasional Firma Al-Segaf.

Singkat cerita, setelah melalui serangkaian lobi dan kerja sama antar pemerintah, praktik licik Al-Segaf dapat berhenti. Para jemaah haji asal Indonesia pun perlahan berhasil dipulangkan ke Tanah Air. Sayid Muhammad bin Ahmad al-Segaf kemudian tak lagi jadi pengusaha travel. 


(mfa/mfa)

Saksikan video di bawah ini:

Video: Lirik Prospek Bisnis Produk Perawatan Rambut Lokal Go Global

Read Entire Article
| | | |