Waste to Energy Harus Fokus Kurangi Penumpukan Sampah

4 hours ago 1

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Tujuan utama dari waste to energy (WtE) seharusnya sederhana: mengurangi penumpukan sampah di kota. Teknologi hanyalah alat. Apakah itu Refused Derived Fuel (RDF), gasifikasi, atau incinerator, semua tidak akan berhasil jika ujung-ujungnya sampah tetap menumpuk di tempat pembuangan akhir (TPA).

Sayangnya, banyak proyek WtE lebih fokus pada mesin dan kapasitas listrik daripada memastikan masalah mendasar terselesaikan: bagaimana agar sampah tidak lagi menimbun ruang hidup kita.

RDF memang mengubah sebagian sampah menjadi bahan bakar padat, tetapi tetap menyisakan residu. Gasifikasi pun bisa mengolah sampah bercampur, namun akhirnya masih ada banyak sisa landfill. Artinya, teknologi tidak otomatis menyelesaikan penumpukan.

Yang jauh lebih penting adalah perilaku masyarakat dan sistem pemilahan dari sumber. Tanpa pemilahan, hasilnya hanya memindahkan masalah, bukan menguranginya.

Contoh nyata datang dari Leuven, Belgia. Kota ini sukses mengurangi volume sampah secara drastis karena warganya wajib memilah sampah sejak rumah tangga: organik, plastik, kertas, logam, dan residu.

Teknologi WtE apapun menjadi lebih efisien, karena bahan baku sudah jelas kualitasnya. Bagaimana sistem Leuven bekerja?

Pertama, ada kantong plastik resmi dengan warna tertentu untuk setiap jenis sampah, lengkap dengan cukai dan hologram agar tidak bisa dipalsukan.

Kedua, warga menerapkan sistem bayar sesuai buangan (pay as you throw). Artinya, biaya pembuangan ditanggung sesuai volume sampah. Semakin banyak residu yang tidak terpilah, semakin mahal. Sebaliknya, memilah dengan benar membuat biaya lebih rendah.

Ketiga, ada pengawasan ketat: bila salah memilah, sampah tidak diambil dan bisa berujung sanksi. Terakhir, jadwal pengangkutan rutin dibuat berbeda untuk tiap jenis kantong, sehingga sampah tidak bercampur lagi di truk.

Hasilnya nyata: tingkat daur ulang mencapai lebih dari 70 persen, salah satu yang tertinggi di Eropa, dan TPA hampir tidak lagi dipakai untuk sampah rumah tangga.

Uniknya, Leuven juga membedakan pendekatan untuk rumah tapak dan apartemen. Pada rumah tapak, tanggung jawab individu ditegakkan: bila salah memilah, sampah tetap dibiarkan menumpuk di depan rumah. Sedangkan pada apartemen, tanggung jawab bersifat kolektif.

Sampah dikumpulkan di ruang bersama. Bila ada satu penghuni salah buang, petugas bisa menolak mengangkut seluruh kontainer. Pengelola mendapat teguran, dan biaya tambahan dibebankan ke semua penghuni. Dengan cara ini, penghuni saling mengawasi, karena satu orang ceroboh bisa merugikan seluruh blok.

Inilah yang seharusnya ditiru Indonesia. Jika ingin WtE benar-benar menjadi solusi, fokus harus bergeser dari sekadar mesin ke sistem pemilahan sejak rumah tangga.

Untuk rumah tapak, bisa diterapkan edukasi dan sanksi individu. Untuk apartemen, wajar bila ada sanksi kolektif agar semua penghuni disiplin.

Dengan model seperti ini, beban TPA akan berkurang signifikan, kualitas bahan bakar RDF atau gasifikasi meningkat, dan program energi dari sampah menjadi benar-benar efektif.

Teknologi boleh berbeda-beda, tetapi kunci keberhasilan ada pada perubahan perilaku masyarakat.


(miq/miq)

Read Entire Article
| | | |