Zimbabwe 'Turun Takhta', Inflasi Negara Ini Tertinggi di Dunia

7 hours ago 6

Jakarta, CNBC Indonesia - Zimbabwe sekarang sudah tergeser dari peringkat negara yang mengalami inflasi paling panas di dunia. Kini Sudan Selatan di peringkat atas.

Deretan teratas inflasi tertinggi di dunia ini bisa dibilang ada yang sudah mencapai hiperinflasi.

Kondisi hiperinflasi, terjadi di mana harga-harga barang dan jasa naik sangat cepat dan tidak terkendali, sehingga nilai mata uang turun drastis dalam waktu singkat.

Ini membuat mata uang suatu negara itu rasanya jadi tidak punya nilai.

Berikut adalah 10 negara dengan laju inflasi terpanas di dunia menurut data terbaru yang dirilis :

Sudan Selatan mencatatkan rekor sebagai negara dengan inflasi paling ekstrim per Maret 2025 sebesar 173,3%.

Lonjakan ini menandai kondisi hiperinflasi, di mana harga-harga naik dengan sangat cepat dan nilai uang merosot drastis. Situasi ini banyak dipicu oleh kombinasi faktor seperti konflik bersenjata yang berkepanjangan, lemahnya institusi negara, serta keterbatasan akses terhadap pasar global.

Sudan Selatan sangat bergantung pada ekspor minyak mentah, dan gangguan produksi atau distribusi akibat instabilitas politik telah memukul perekonomian dan memicu krisis harga domestik.

Di posisi berikutnya adalah Zimbabwe, yang kembali menghadapi inflasi tinggi sebesar 85,7% per April 2025. Negara ini sebelumnya terkenal dengan krisis hiperinflasi pada akhir 2000-an, dan meskipun pemerintah telah mengganti mata uang beberapa kali serta menerapkan kebijakan moneter ketat, inflasi kembali melonjak akibat lemahnya kepercayaan publik terhadap kebijakan fiskal dan sistem keuangan.

Argentina, yang menempati posisi ketiga dengan inflasi 55,9%, juga mengalami tekanan inflasi kronis karena defisit fiskal tinggi, devaluasi peso, dan kebijakan subsidi yang tidak berkelanjutan. Upaya reformasi ekonomi yang dilakukan pemerintahan baru belum cukup untuk menstabilkan harga-harga.

Kemudian ada Burundi mencatatkan inflasi 39,7% dan terus bergulat dengan masalah kemiskinan struktural serta kerentanan terhadap gangguan pasokan pangan. Negara kecil ini menghadapi tekanan harga terutama karena impor yang mahal dan produksi dalam negeri yang tidak mencukupi.

Turki, dengan inflasi 37,86%, menjadi contoh negara dengan ekonomi menengah yang terdampak akibat kebijakan suku bunga rendah yang tidak konvensional dalam beberapa tahun terakhir. Turunnya nilai tukar lira, tingginya harga energi, serta ketegangan geopolitik berkontribusi terhadap naiknya biaya hidup di sana.

Lalu Iran mencatat inflasi 33,2%, didorong oleh dampak sanksi ekonomi internasional, depresiasi nilai rial, serta ketergantungan pada impor. Tekanan dari luar negeri ditambah dengan ketidakpastian politik domestik memperburuk situasi inflasi.

Malawi dan Haiti, dengan inflasi masing-masing 30,5% dan 25,2%, sama-sama terdampak oleh harga pangan dan energi global. Ketergantungan tinggi pada impor serta lemahnya sistem distribusi membuat mereka rentan terhadap fluktuasi harga.

Nigeria dan Angola menutup daftar dengan inflasi terpanas sekitar 24%. Keduanya merupakan negara produsen minyak yang mengalami tekanan akibat harga energi global dan kebijakan subsidi yang berubah-ubah.

Nigeria, meskipun menjadi ekonomi terbesar di Afrika, masih sangat rentan terhadap pelemahan nilai tukar dan masalah distribusi barang. Sementara itu, Angola menghadapi inflasi tinggi seiring upaya reformasi harga dan devaluasi mata uang dalam transisi menuju ekonomi yang lebih terbuka.

Secara umum, negara-negara dengan inflasi tinggi bahkan sampai pada kondisi hiperinflasi menunjukkan ada masalah ketidakstabilan politik, kebijakan ekonomi yang lemah, serta ketergantungan pada komoditas tunggal.

Jika tidak ditangani dengan kebijakan yang kredibel dan dukungan dari lembaga internasional, inflasi tinggi berisiko berkembang menjadi hiperinflasi yang menghancurkan struktur ekonomi dan sosial masyarakat.

CNBC INDONESIA RESEARCH

(tsn/tsn)

Read Entire Article
| | | |