Jakarta, CNBC Indonesia - Upah minimum menjadi isu besar di semua negara, tak terkecuali di Indonesia dan Amerika Serikat (AS).
Kenaikan upah minimum kembali mencuat menjelang penetapan upah minimum provinsi (UMP) 2026 pada November 2025 mendatang.
Serikat pekerja menuntut kenaikan upah sebesar 10,5% pada 2026. Tuntutan ini bukan tanpa alasan. Tekanan biaya hidup dan penurunan daya beli masyarakat mendorong permintaan terhadap kenaikan upah minimum pekerja.
Menanggapi tuntutan tersebut, sejumlah pejabat terkait seperti Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto hingga Menteri Ketenagakerjaan Yassierli angkat suara.
Yassierli menyatakan belum mengetahui dasar dari permintaan kenaikan upah ini. Ia menuturkan bahwa pemerintah masih mengkaji perhitungan penetapan UMP 2026.
Lebih lanjut, keputusan terkait UMP akan mengikuti prosedur yang berlaku dan tetap mempertimbangkan aspirasi buruh, pengusaha, hingga lembaga terkait seperti LKS Tripartit Nasional.
Setiap tahun, penetapan upah sering kali memunculkan kekhawatiran tentang apakah kenaikan upah benar-benar mencerminkan biaya hidup aktual di suatu daerah.
Sebagai contoh, UMP yang tampak tinggi secara nominal di Jakarta belum tentu memberikan kesejahteraan yang lebih baik dibanding daerah lain. Hal ini karena biaya hidup di kota metropolitan seperti Jakarta mungkin jauh lebih besar.
Artinya, penetapan kenaikan upah minimum bukan sekedar meningkatkan angka nominal, tapi juga mempertimbangkan realitas biaya hidup di setiap daerah. Perhitungan UMP nasional perlu memperhatikan aspek daya beli, sebagaimana yang telah diterapkan di berbagai negara maju.
Salah satu pendekatan adalah dengan menggunakan paritas daya beli atau purchasing power parity (PPP). Hal ini dilakukan untuk menyeimbangkan kenaikan upah dengan perbedaan biaya hidup di setiap daerah. Selain itu, untuk membandingkan tingkat upah minimum pada negara yang berbeda, angka-angka dikonversi ke dalam dolar Amerika terlebih dahulu. Ini penting dilakukan untuk menyesuaikan perbedaan harga di setiap negara.
Visual Capitalist menjabarkan mengenai upah minimum negara maju. Data ini menggabungkan:
-
Angka PPP (Purchasing Power Parity) lintas negara dari OECD
-
Tingkat upah minimum per negara bagian dari Labor Law Center
-
Paritas harga regional dari U.S. Bureau of Economic Analysis (BEA)
Nilai dalam dolar AS ditampilkan dalam nilai konstan tahun 2021, menggunakan Consumer Price Index (CPI) dari Bureau of Labor Statistics (BLS)
Melansir Visual Capitalist, Jerman menjadi negara dengan upah minimum tertinggi pada 2024, yakni mencapai US$17,15 per jam atau Rp 284.175 (US$1= 16.570).
Jika dihitung sehari 8 jam kerja dan jumlah hari kerja 20 hari dalam sebulan maka upah minimum di Jerman sekitar Rp 45,47 juta.
Peringkat lima teratas lainnya diisi oleh negara-negara Eropa Barat, yaitu Luksemburg (US$16,79), Inggris (US$15,91), dan Prancis (US$15,78). Selain itu, Australia melengkapi daftar teratas dengan upah minimum sebesar US$16,49 per jam.
Sementara itu di Amerika Serikat, Washington DC memiliki upah minimum tertinggi sebesar US$12,43 per jam.
Negara bagian Connecticut mengikuti dengan nilai upah minimum mencapai US$12,10 per jam, disusul oleh Washington State (US$11,87) dan Arizona (US$11,78).
Meskipun begitu, Amerika Serikat juga masih memiliki masalah kesenjangan upah antar daerah. Kondisi ini dapat dilihat dari perbedaan kontras antara batas atas dan batas bawah, yakni Washington DC sebesar US$12,43 dan New Hampshire sebesar US$5,60.
Dalam perhitungan yang disesuaikan dengan PPP, setidaknya terdapat 26 negara bagian yang memiliki upah minimum di bawah US$10. Hal ini diperparah oleh kondisi inflasi meningkat dari tahun ke tahun, yang semakin menurunkan daya beli pekerja sementara upah nominalnya tetap sama.
(mae)