Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Bayangkan sebuah forum diplomatik di Jenewa, Swiss, tahun 2035. Para pemimpin dunia berkumpul, bukan untuk membahas konflik militer atau stabilitas pasokan minyak, tetapi tentang jaminan akses terhadap logam kritis seperti nikel, kobalt, mangan, litium, dan logam tanah jarang.
Di dalam ruang rapat yang dipenuhi layar digital berisi grafik pasokan mineral dan tren teknologi baterai, nama Indonesia berulang kali muncul sebagai kata kunci: "supplier utama," "mitra strategis," "kekuatan baru Asia Tenggara."
Dunia sedang bergerak cepat menuju era elektrifikasi dan net-zero emission. Kendaraan listrik menggantikan mobil konvensional. Jaringan listrik membutuhkan baterai berkapasitas besar untuk menyimpan energi matahari dan angin. Semua ini bertumpu pada satu hal: mineral strategis.
Indonesia, dengan bentang alam yang menyimpan cadangan nikel terbesar dunia, sesungguhnya duduk di kursi kemudi revolusi energi global. Namun kekayaan sumber daya tidak otomatis menjelma menjadi kekuatan geopolitik.
Ia membutuhkan strategi. Maka lahirlah konsep "Diplomasi Mineral", sebuah ide besar untuk mengubah kekayaan tambang Indonesia menjadi instrumen pengaruh global yang sejajar dengan kekuatan teknologi dan militer.
Apakah kita siap menjalani peran baru ini? Apakah Indonesia akan menjadi pengatur arah baru dalam geopolitik energi dunia? Inilah pertanyaan mendasar yang harus dijawab melalui visi, kebijakan, dan kepemimpinan yang berani.
Geopolitik Energi Baru: Dari Minyak ke Mineral
Abad ke-20 ditandai oleh perebutan minyak. Abad ke-21 akan ditentukan oleh siapa yang menguasai mineral. Laporan IEA (2022) memperkirakan bahwa untuk memenuhi target Paris Agreement, permintaan global terhadap nikel dan litium akan melonjak lebih dari 400% dalam dua dekade ke depan.
Litium menjadi kunci mobil listrik. Kobalt dan mangan diperlukan untuk stabilitas kimia baterai. Rare earth elements menentukan kemampuan turbin angin dan panel surya.
Namun tantangan utamanya bukan sekadar kuantitas, tapi kendali rantai pasok. Saat ini, China mengendalikan 70% hingga 90% fasilitas pemurnian mineral kritis dunia. Negara-negara Barat-AS, Uni Eropa, Jepang-berlomba mencari sumber pasokan baru yang tidak tergantung pada satu negara. Mereka menawarkan insentif, kemitraan, bahkan investasi teknologi ke negara-negara penghasil bahan mentah seperti Indonesia.
Situasi ini menciptakan peluang geopolitik yang belum pernah ada sebelumnya. Negara dengan cadangan mineral dapat membentuk pakta strategis, menukar akses mineral dengan teknologi, dukungan politik, atau jaminan investasi. Dalam arena ini, Indonesia memiliki peluang langka untuk menjadi pemain utama.
Keunggulan Strategis Indonesia yang Belum Tergarap Optimal
Indonesia memiliki sekitar 24% cadangan nikel global-sebuah posisi tak tergantikan dalam transisi energi global. Kawasan Indonesia Tengah dan Timur seperti Sulawesi, Maluku, dan Papua menyimpan kekayaan nikel, kobalt, mangan, dan bahkan potensi logam tanah jarang yang belum terpetakan secara maksimal.
Kebijakan hilirisasi yang dimulai sejak tahun 2020 telah mengubah peta ekspor Indonesia. Morowali Industrial Park dan Weda Bay menjadi contoh kawasan industri berbasis nikel dan baterai yang telah menarik investasi global dari China, Korea Selatan, dan Eropa. Namun di balik angka ekspor yang meningkat, ada tantangan mendalam yang harus dijawab.
Teknologi pemurnian masih bergantung pada luar negeri. Praktik penambangan masih menyisakan luka ekologis. Kesenjangan antara pusat dan daerah dalam tata kelola tambang menimbulkan ketidakpastian hukum.
Sementara itu, pengembangan SDM dan riset dalam negeri belum diprioritaskan secara sistematis. Jika semua tantangan ini diatasi, Indonesia akan naik kelas. Dari sekadar penjual bahan mentah menjadi pusat inovasi dan diplomasi global.
Merumuskan "Diplomasi Mineral", Pendekatan Strategis Baru
Diplomasi Mineral adalah penggunaan terstruktur atas cadangan mineral sebagai alat negosiasi global. Seperti Arab Saudi memanfaatkan minyak untuk membentuk aliansi politik dan keamanan, Indonesia dapat menggunakan nikel dan kobalt untuk membangun kemitraan teknologi dan pengaruh ekonomi.
Strategi ini bisa mengambil beberapa bentuk:
1. Mineral-for-Technology: Menukar akses tambang dengan pembangunan pabrik baterai dalam negeri dan transfer teknologi dari Jepang, Korea Selatan, Jerman, dan Amerika Serikat.
2. Strategic Equity Partnerships: Mendorong keterlibatan Indonesia sebagai pemegang saham di perusahaan global seperti Tesla, CATL, dan Panasonic.
3. Sovereign Wealth Instrument: Danantara Indonesia dapat digunakan sebagai kendaraan investasi untuk membiayai akuisisi teknologi, R&D, dan pembentukan cadangan mineral strategis.
4. Diplomasi Regional: Indonesia dapat memprakarsai kerangka kerja ASEAN Critical Minerals Framework atau masuk dalam skema Indo-Pacific Economic Framework (IPEF) sebagai pilar mineral strategis.
5. Transparansi Tata Kelola: Reputasi Indonesia akan sangat ditentukan oleh kredibilitas sistem perizinan, komitmen terhadap ESG, dan pelibatan masyarakat lokal secara berkeadilan.
Studi kasus diplomasi mineral di berbagai negara
Chile mengelola litium melalui kebijakan negara yang memadukan perlindungan kedaulatan dan kemitraan global. Australia memanfaatkan kemitraan dengan AS dan UE untuk menjadi pilar dalam rantai pasok logam tanah jarang. Afrika Selatan menggunakan platinum sebagai instrumen pengaruh dalam perundingan teknologi fuel cell.
Dari mereka, Indonesia bisa belajar:
* Bahwa kunci dari kekuatan mineral adalah kelembagaan yang tangguh dan visi kebijakan yang konsisten.
* Bahwa pembangunan ekosistem industri yang lengkap jauh lebih strategis daripada ekspor mentah jangka pendek.
* Bahwa diplomasi mineral membutuhkan kehadiran negara, bukan hanya lewat regulasi, tapi juga investasi dan pengelolaan bersama rakyat.
Dan yang masih segar di ingatan kita, Ukraina menjalankan diplomasi mineral dengan Amerika Serikat sebagai strategi geopolitik di tengah konflik dengan Rusia. Dengan kekayaan mineral kritis seperti titanium, lithium, dan logam tanah jarang.
Ukraina memposisikan diri sebagai mitra strategis bagi AS yang sedang mencari sumber pasokan alternatif di luar China dan Rusia. Pada 2021, kedua negara menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) untuk kerja sama rantai pasok mineral kritis, yang mencakup eksplorasi, investasi, dan transfer teknologi.
Untuk mendukung diplomasi ini, Ukraina mereformasi sektor pertambangannya dengan membuka data geologi, menerapkan sistem lelang digital, dan menciptakan iklim investasi yang ramah bagi investor asing.
Mineral seperti titanium dari Ukraina menjadi penting bagi industri pertahanan AS, sementara lithium dan nikel mendukung ambisi transisi energi Amerika melalui kendaraan listrik. Dengan menempatkan mineral sebagai instrumen dalam agenda energi dan pertahanan, Ukraina berhasil memperkuat hubungan strategis dengan AS.
Hasil dari pendekatan ini adalah meningkatnya minat dan investasi dari perusahaan-perusahaan Amerika, serta terintegrasinya Ukraina ke dalam rantai pasok global Barat. Diplomasi mineral ini memberi Ukraina pengaruh geopolitik baru sekaligus dukungan politik dan keamanan dari AS.
Pendekatan ini dapat menjadi pelajaran bagi Indonesia untuk mengoptimalkan kekayaan mineralnya sebagai alat diplomasi strategis dalam mendorong ketahanan energi dan posisi tawar global.
Visi Panjang Indonesia dalam Transisi Energi Dunia
Indonesia memiliki modal luar biasa untuk memimpin transisi energi dunia: kekayaan mineral, posisi geostrategis, dan kekuatan diplomatik yang tumbuh. Namun potensi itu hanya akan terwujud jika kita berani keluar dari pola lama sebagai eksportir mentah.
Mineral Diplomacy adalah jalan menuju transformasi tersebut. Sebuah strategi jangka panjang yang menggabungkan kekuatan sumber daya, inovasi, dan politik luar negeri untuk menciptakan Indonesia yang mandiri, berdaulat, dan berpengaruh dalam era energi baru.
Untuk mencapai tersebut, ada beberapa Langkah yang bisa diambil Indonesia dalam memperkuat posisi dalam percaturan mineral global, yakni:
1. Bentuk Badan Khusus Diplomasi Mineral: Unit lintas sektoral di bawah koordinasi Kementerian ESDM dan Kementerian Luar Negeri untuk negosiasi internasional berbasis mineral.
2. Perkuat Danantara Indonesia: Jadikan sebagai pengelola investasi strategis Indonesia di sektor mineral global, termasuk dalam akuisisi saham dan pendirian pabrik luar negeri.
3. Pusat Inovasi Mineral: Dirikan pusat riset dan teknologi baterai nasional dengan dukungan global.
4. Kebijakan ESG Progresif: Bangun standar tambang hijau yang diakui global dan pastikan keterlibatan masyarakat adat dan lokal.
5. Integrasi Rantai Nilai: Pastikan seluruh proses-dari tambang hingga baterai-terjadi di dalam negeri atau dalam kemitraan jangka panjang.
Kini saatnya Indonesia tidak hanya menjadi penyedia bahan baku dunia, tetapi menjadi pengatur arah baru dalam diplomasi energi global. Masa depan sedang diperebutkan hari ini. Dan, Indonesia dapat menjadi pemain utama dan penentu arah percaturan global.
(miq/miq)