Jakarta, CNBC Indonesia - Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkapkan adanya kenaikan proporsi pekerja informal dari 59,17% menjadi 59,40% atau sebanyak 86,58 juta orang pada Februari 2025.
Sebagai catatan, pekerja informal tersebar di kategori berusaha sendiri, pekerja bebas, dan pekerja keluarga yang tidak dibayar. Sementara itu, pekerja formal mengalami penurunan secara proporsional. Per Februari 2025, jumlah mencapai 59,19 juta orang atau 40,60%.
Dari sisi jam kerja, sekitar 33,81% penduduk bekerja tercatat bekerja kurang dari 35 jam per minggu. Angka ini sedikit menurun dibandingkan tahun sebelumnya, tetapi menunjukkan bahwa proporsi pekerja paruh waktu masih cukup besar, terutama pada kelompok perempuan.
Tingkat setengah pengangguran berada di angka 8,00%, mencerminkan adanya ruang untuk perbaikan dalam optimalisasi penyerapan tenaga kerja secara penuh.
Kondisi ini disoroti oleh Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) FEB UI dalam Laporan Market Brief Mei 2025 lalu. Dari laporan ini yang ditulis Muhammad Hanri dan Nia Kurnia ini terungkap, banyaknya pekerja informal yang bermunculan didorong oleh badai PHK yang terjadi di Tanah Air.
Banyak korban PHK yang lari mencari pekerjaan sampingan di sektor informal atau gig economy. Ketika lapangan kerja formal mengalami tekanan, baik akibat pelambatan ekonomi global, restrukturisasi perusahaan, maupun otomatisasi, banyak pekerja terdampak yang beralih ke sektor informal digital atau yang dikenal sebagai gig economy.
Platform seperti Gojek, Grab, ShopeeFood, TikTok Shop, dsb., menjadi pilihan cepat untuk tetap memperoleh penghasilan, terutama di perkotaan. Pekerja yang kehilangan pekerjaan formal, khususnya di sektor manufaktur dan jasa, cenderung beralih menjadi pengemudi ojek daring, kurir, content creator, hingga reseller online.
LPEM UI melihat dari sisi kebijakan, peralihan ke pekerjaan gig ini bersifat ambivalen. Di satu sisi, platform digital memberi ruang fleksibilitas dan penyerapan tenaga kerja pasca PHK.
"Namun di sisi lain, status kerja yang tidak terlindungi, jam kerja panjang, serta pendapatan yang fluktuatif menjadikan gig economy sebagai solusi yang "sementara tapi rapuh"," ungkap LPEM UI.
Dampak Negatif Pekerja Informal Menjamur
Banyak pekerja gig tidak terdaftar dalam sistem jaminan sosial nasional, dan sebagian besar tidak memiliki perlindungan saat mengalami kecelakaan kerja atau kehilangan penghasilan karena faktor eksternal.
"Melihat tren ini, pemerintah perlu melihat gig economy tidak hanya sebagai sektor informal baru, tetapi juga sebagai indikator tekanan struktural di pasar kerja formal," papar LPEM dalam laporannya.
Menurut LPEM, penguatan regulasi perlindungan pekerja gig, integrasi mereka ke dalam sistem jaminan sosial, serta penyediaan jalur mobilitas ke pekerjaan formal harus menjadi bagian dari respons kebijakan ketenagakerjaan pasca-pandemi.
"Jika tidak, risiko terjebaknya jutaan pekerja dalam kondisi kerja yang rentan akan terus meningkat, dan pemulihan ketenagakerjaan hanya terjadi di permukaan angka-angka," ungkap LPEM.
Ekonom senior yang juga merupakan pendiri CReco Research Institute, Raden Pardede mengungkapkan efek negatif besar bagi perekonomian, bila pemerintah terus membiarkan tenaga pekerja informal di Indonesia terus bertumbuh.
"Persoalan informality ini PR besar, ini adalah kita enggak boleh teruskan informality ini ke depan, karena ini dampaknya ke mana-mana," ucap Raden dalam program Cuap Cuap Cuan CNBC Indonesia, dikutip Senin (14/7/2025).
Dengan catatan itu, Raden mengatakan, bila terus menerus dibiarkan maka tenaga kerja Indonesia ke depan akan sulit mendapatkan akses keuangan yang memadai, mulai dari stabilitas pendapatan, hingga perolehan dana pinjaman dari lembaga jasa keuangan formal, seperti bank.
"Kalau informal dia umumnya aksesnya ke keuangan, aksesnya ke bank juga enggak ada, bagaimana dia mau dapat kredit yang baik, dia akan biasanya dapat kredit dari yang ilegal lagi, yang mungkin dia akan diperas," ujar Raden.
Efek berikutnya ialah langsung menghantam ke pendapatan negara, terutama dari sisi penerimaan pajak. Raden mengatakan bahwa kondisi ini disebabkan tenaga kerja informal biasanya tidak tercatat dalam sistem perpajakan pemerintah.
"Kalau informal banyak, itu dampaknya juga ke penerimaan pemerintah, pajak, karena informal kan, enggak terdata dia, bagaimana dia mau bayar pajak," kata Raden.
(haa/haa)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Menkeu Era SBY Beberkan Alasan Kelas Menengah Terus Turun