Jakarta, CNBC Indonesia - Malapetaka iklim, kenaikan suhu bumi, telah bertanggung jawab atas kematian 16.500 orang di kota-kota Eropa pada musim panas 2025 ini. Hal tersebut diungkap para ilmuwan dalam studi terbaru yang dimuat Rabu (17/9/2025).
Studi dilakukan oleh para ilmuwan di Imperial College London dan ahli epidemiologi di London School of Hygiene & Tropical Medicine. Para peneliti iklim dan kesehatan menghubungkan jumlah kematian selama gelombang panas dengan pemanasan global.
Sebenarnya perkiraan kematian tersebut tidak benar-benar tercatat di kota-kota Eropa. Melainkan merupakan proyeksi berdasarkan metode seperti pemodelan yang digunakan dalam studi yang telah melalui tinjauan sejawat sebelumnya.
Untuk mendapatkan gambaran singkat tentang musim panas ini, tim peneliti menggunakan pemodelan iklim untuk memperkirakan bahwa pemanasan global menyebabkan suhu rata-rata 2,2 derajat Celsius, lebih panas di 854 kota di Eropa, antara bulan Juni dan Agustus. Dengan menggunakan data historis yang menunjukkan bagaimana suhu yang melonjak tersebut meningkatkan angka kematian, tim tersebut memperkirakan terdapat sekitar 24.400 kematian berlebih di kota-kota tersebut selama periode tersebut.
Mereka kemudian membandingkan angka ini dengan jumlah orang yang akan meninggal di dunia, yang tidak mengalami 1,3C lebih hangat, akibat perubahan iklim yang disebabkan oleh manusia yang membakar bahan bakar fosil. Hampir 70%, 16.500, dari perkiraan kematian berlebih tersebut disebabkan oleh pemanasan global.
Jumlah kematian selama gelombang panas sebenarnya sangat diremehkan. Karena penyebab kematian yang tercatat di rumah sakit, biasanya adalah masalah jantung, pernapasan, atau kesehatan lain yang khususnya memengaruhi lansia ketika suhu udara melonjak.
"Ini berarti perubahan iklim bisa melipatgandakan jumlah kematian akibat panas musim panas ini," ujar para ilmuwan dikutip AFP.
Tim sebelumnya telah menggunakan metode serupa untuk menemukan hasil yang sama, saat mengkaji satu gelombang panas di Eropa yang dimulai pada akhir Juni. Para peneliti mengatakan mereka tidak dapat membandingkan perkiraan mereka dengan jumlah kematian berlebih aktual yang tercatat di kota-kota Eropa musim panas ini karena sebagian besar negara membutuhkan waktu lama untuk mempublikasikan data tersebut.
"Mustahil untuk mendapatkan statistik waktu nyata saat ini, namun perkiraan tersebut cukup akurat," ujar rekan penulis studi, Friederike Otto dalam konferensi pers.
Lebih Mengkhawatirkan
Perkiraan tersebut memang mencerminkan penelitian yang telah melalui tinjauan sejawat sebelumnya, seperti studi Nature Medicine yang menetapkan bahwa terdapat lebih dari 47.000 kematian terkait panas selama musim panas Eropa tahun 2023. Banyak peneliti iklim dan kesehatan terkemuka juga mendukung studi ini.
"Yang membuat temuan ini semakin mengkhawatirkan adalah metode yang digunakan dalam studi atribusi ini secara ilmiah kuat, namun konservatif," kata peneliti sains atmosfer dari Universitas Reading, Inggris, Akshay Deoras.
"Jumlah kematian sebenarnya bisa lebih tinggi lagi," tambahnya.
Studi tersebut menyatakan bahwa Roma memiliki perkiraan kematian terbanyak yang dikaitkan dengan perubahan iklim, yaitu 835. Hal itu diikuti oleh Athena dengan 630, dan Paris dengan 409.
Lebih dari 85% perkiraan kematian berlebih terjadi pada orang berusia 65 tahun ke atas. Para peneliti menekankan bahwa studi ini tidak mewakili Eropa secara keseluruhan karena beberapa wilayah seperti Balkan, tidak diikutsertakan.
"Kenaikan suhu gelombang panas sebesar 2-4°C saja dapat menjadi penentu antara hidup dan mati bagi ribuan orang. Iinilah mengapa gelombang panas dikenal sebagai pembunuh diam-diam," kata rekan penulis studi Garyfallos Konstantinoudis.
Perlu diketahui, tahun ini merupakan musim panas terpanas keempat di Eropa yang pernah tercatat.
(sef/sef)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article
Malapetaka Hantam Iran, Sekolah & Kantor Tutup-Jutaan Orang Terisolasi