Jakarta, CNBC Indonesia - Hari ini, Senin (14/7/2025), menandai hari pertama kegiatan belajar mengajar serentak di seluruh Indonesia. Dari sekian banyak sekolah, sejarah pendidikan Indonesia mencatat ternyata ada satu sekolah elite yang hanya menerima murid bule dari kalangan keluarga kaya. Tanpa satupun ada murid lokal.
Sekolah tersebut adalah Highland School Kaban Djahe yang berdiri sejak 1925 di dataran tinggi Karo, Sumatra Utara. Sekolah ini didirikan oleh pasangan Inggris, William Stanley Cookson dan Bernice, sebagai wadah bagi anak-anak keluarga Eropa yang bekerja di sektor perkebunan, terutama di wilayah Sumatra dan Malaya.
Saat itu, Kabanjahe dan sekitarnya dipenuhi pemukim Eropa. Ini terjadi imbas masifnya ekspansi ekonomi kolonial. Akibat tak ingin mengirim anak kembali ke Eropa hanya untuk bersekolah, Highland School Kaban Djahe jadi pilihan ideal bagi keluarga Eropa.
Berdasarkan pembacaan atas berbagai sumber berbahasa Belanda, setidaknya ada tiga alasan mengapa Highland School Kaban Djahe menjadi magnet bagi anak-anak keluarga ekspatriat.
Pertama, kondisi iklim yang sejuk dan sehat. Kabanjahe terletak di dataran tinggi, sehingga suhu udaranya lebih dingin. Alias mirip dengan iklim Eropa. Ini menjadi daya tarik utama bagi para orang tua ekspatriat yang ingin anak-anak mereka tinggal di lingkungan yang nyaman dan tidak terlalu berbeda dengan tanah asal mereka.
Selain itu, kawasan ini dikenal sangat bersih dari penyakit-penyakit mematikan yang kala itu umum di wilayah tropis. Atas dasar ini, Kabanjahe jadi tempat ideal untuk menyelenggarakan pendidikan berasrama jangka panjang.
"Selama lima belas tahun Highland School berada di sana, hanya ada beberapa kasus penyakit serius: dua operasi usus buntu dan dua patah tulang tangan," ungkap koran Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië (4 Juli 1939).
Kedua, standar internasional. Kurikulum Highland School Kaban Djahe berorientasi Eropa dan menggunakan banyak bahasa pengantar. Mulai dari bahasa Inggris, Jerman, Prancis, hingga bahasa-bahasa negara Skandinavia, seperti Denmark, Swedia dan Norwegia.
Para guru pun didatangkan langsung dari negara asal masing-masing. Guru asal Denmark mengajar anak-anak dari Skandinavia. Lalu, guru asal Swiss mengampu pelajaran bahasa Jerman dan Prancis.
Selain itu, Highland School Kaban Djahe juga mengikuti standardisasi dari Inggris, yakni The Parents' National Education Union, yang memastikan kualitas pendidikan tetap tinggi dan sesuai standar Eropa.
Ketiga, lokasi strategis. Highland School terletak di Dataran Tinggi Karo dan dekat dengan pusat-pusat perkebunan dan perdagangan utama di Sumatra. Letaknya yang berada di jalur penting pun membuat akses ke sekolah ini terbilang mudah. Baik melalui pelabuhan laut maupun dari Bandara Medan.
Akses menuju sekolah ini menjadi semakin mudah setelah Bandara Berastagi resmi dibuka pada September 1934. Menurut laporan De Sumatra Post (17 September 1934), anak-anak dari Malaka, Bangkok, Surabaya, hingga Shanghai bisa langsung dijemput di Bandara Berastagi tanpa perlu melalui Medan terlebih dahulu.
Hal ini memberikan rasa aman bagi para orang tua. Sebab tak seperti menitipkan anak di kota-kota besar yang saat itu tengah dilanda ketidakstabilan politik, seperti Shanghai.
Berkat kombinasi ketiga faktor tersebut, jumlah murid Highland School Kaban Djahe melonjak drastis. Awalnya hanya dua orang murid, tapi dalam waktu singkat tumbuh menjadi 100 murid tiap tahun.
"Highland School bukan lagi sekolah kecil dengan dua murid saja," ungkap koran Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië (4 Juli 1939).
Semua murid adalah bule berkebangsaan Inggris, Belanda, Jerman, Amerika Serikat dan negara Barat lain. Mereka berasal dari Malaka, China, Thailand, Sumatra, dan Jawa. Pengelola sekolah juga tidak menerima warga pribumi.
Atas dasar ini, Highland School Kaban Djahe menjadi sekolah internasional pertama di Indonesia dan Asia Tenggara.
Seluruhnya tinggal di asrama dan hanya diizinkan pulang dua kali setahun, yakni tiap tanggal 15 Desember-15 Januari dan 15 Juni-15 Juli. Selama di sekolah, harian De Sumatra Post (31 Desember 1935) mewartakan, para murid disediakan beragam ekstrakulikuler, seperti marching band, sepak bola, dan sebagainya.
Lalu, mereka juga dijamu makanan tiga kali sehari. Para orang tua juga disediakan hotel jika datang menjenguk. Sekalipun tak diketahui berapa biayanya, sekolah tersebut dapat dipastikan sangat mahal. Mengingat, fasilitas Highland School Kaban Djahe sangat mewah pada zamannya.
Sayang, riwayat Highland School Kaban Djahe tamat ketika Jepang menjajah Indonesia pada 1942. Sekolah ditutup. Para guru dan murid harus mengungsi agar tak disiksa tentara Jepang.
Setelah merdeka, pengelola tak melanjutkan operasional karena sekolah rusak berat. Alhasil, sekolah tersebut kini tinggal kenangan.
Naskah ini merupakan bagian dari CNBC Insight, rubrik yang menyajikan ulasan sejarah untuk menjelaskan kondisi masa kini lewat relevansinya di masa lalu.(mfa/mfa)
[Gambas:Video CNBC]