Tiga Wakil dari Timur, Jejak Kardinal Indonesia di Konklaf

3 hours ago 2

Jakarta, CNBC Indonesia — Di Basilika Santa Maria Maggiore, Roma, Paus Fransiskus dimakamkan dengan kesederhanaan yang mencerminkan kepemimpinannya.

Sebagai paus pertama dari Amerika Latin dan anggota Ordo Serikat Yesus, beliau dikenal karena keberpihakan pada kaum tertindas dan upaya reformasi dalam Gereja Katolik. Wafat pada 21 April 2025 dalam usia 88 tahun, beliau meninggalkan warisan kepemimpinan yang penuh kasih dan keterbukaan.

Dengan kepergiannya, Gereja Katolik memasuki masa sede vacante, periode kekosongan Takhta Suci. Kardinal Kevin Farrell, Camerlengo asal Irlandia, kini memegang kendali administratif Vatikan hingga terpilihnya Paus baru. Konklaf, pertemuan tertutup para kardinal untuk memilih Paus baru, dijadwalkan berlangsung pada 6 Mei 2025.

Konklaf adalah proses sakral yang berlangsung di Kapel Sistina, di mana para kardinal berusia di bawah 80 tahun berkumpul untuk memilih pemimpin baru Gereja Katolik. Proses ini berlangsung dalam keheningan dan doa, mencerminkan keseriusan dan kekhusyukan dalam menentukan penerus Takhta Suci.

Dari belantara iman yang tumbuh jauh di timur, Indonesia kembali mengirim satu nama dalam daftar kardinal pemilih. Ia bukan yang pertama. Tapi seperti pendahulunya, kehadirannya membawa harapan dari negeri yang jauh dari pusat Vatikan, namun dekat dalam semangat universal Gereja.

Justinus Darmojuwono

Dialah yang membuka jalan. Kardinal Justinus Darmojuwono adalah orang Indonesia pertama yang dipercaya mengemban gelar kardinal, diangkat oleh Paus Paulus VI pada 1967. Uskup Agung Semarang ini ikut dalam dua konklaf bersejarah tahun 1978 yang pertama melahirkan Paus Yohanes Paulus I, dan yang kedua memilih Karol Wojtyła sebagai Paus Yohanes Paulus II.

Dalam sunyi dan doa di Kapel Sistina, suara Darmojuwono ikut menentukan arah Gereja Katolik dunia. Setelah pensiun, ia memilih tinggal sederhana di Paroki Santa Maria Fatima Banyumanik, Semarang, hingga wafat pada 1994.

Julius Darmaatmadja

Dua dekade berselang, tongkat estafet diteruskan oleh Kardinal Julius Darmaatmadja, seorang Jesuit yang juga pernah menjadi Uskup Agung Jakarta dan Semarang. Ia turut serta dalam konklaf 2005 yang memilih Paus Benediktus XVI. Tapi pada 2013, meski masih memiliki hak pilih, ia memilih tidak hadir karena kesehatan yang kian rapuh, penglihatan memudar, pendengaran menurun, dan tubuh yang tak lagi kuat menempuh perjalanan panjang ke Roma.

Pengunduran dirinya adalah bentuk kerendahan hati, bahwa tanggung jawab rohani membutuhkan kejernihan lahir dan batin. Ia memilih mundur agar proses pemilihan paus berjalan tanpa beban keterbatasan pribadi.

Ignatius Suharyo

Kini, giliran Kardinal Ignatius Suharyo, Uskup Agung Jakarta, melangkah memasuki Kapel Sistina. Di usia 74 tahun, Suharyo mewakili Indonesia dalam konklaf 6 Mei 2025 mendatang.

Suharyo bukan nama baru dalam hierarki Gereja. Ia sudah lebih dari 20 tahun mengabdi sebagai uskup, dan diangkat sebagai kardinal oleh Paus Fransiskus pada 2019. Lahir di Sedayu, Bantul, Yogyakarta, Suharyo pernah bermimpi menjadi polisi. Tapi jalan hidup membawanya menjadi doktor teologi biblis di Roma, pengajar filsafat, dan kini, satu dari sekitar 120 kardinal yang akan menentukan arah Gereja Katolik sedunia.

Dalam catatan sejarah Gereja, hanya segelintir dari jutaan umat Katolik Indonesia yang pernah ikut menentukan siapa yang akan mengenakan Cincin Nelayan. Dari tiga nama itu Darmojuwono, Darmaatmadja, dan kini Suharyo terlukis cerita iman tentang pengabdian, kesetiaan, dan kesadaran akan keterbatasan diri.

CNBC INDONESIA RESEARCH

(emb/emb)

Read Entire Article
| | | |