Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Meskipun neraca gas nasional dilaporkan surplus, neraca gas pada sejumlah wilayah seperti Region I (Aceh, Sumut); II (Sumatra Tengah, Kepri dan Jawa Barat) dan III (Jawa Tengah) justru dilaporkan defisit. Berdasarkan perhitungan di atas kertas, defisit tersebut dapat ditutup menggunakan pasokan gas dari Region IV (Jawa Timur); Region V (Kalimantan, Bali) dan Region V (Papua, Sulawesi, Natuna) yang diinformasikan sedang mengalami surplus produksi.
Namun demikian, dalam realisasinya teknis operasional untuk menutup defisit pasokan gas pada sejumlah wilayah tersebut tidak sesederhana perhitungan di atas kertas. Relatif berbeda dengan minyak bumi, ketersediaan infrastruktur menjadi kunci dalam pemanfaatan produksi gas nasional.
Sebagai gambaran, karena masih terdapat keterbatasan dalam ketersediaan infrastruktur, surplus gas di Jawa Timur belum dapat dimanfaatkan oleh pengguna gas di Jawa Barat yang sedang mengalami defisit pasokan.
Selain masalah keterbatasan infrastruktur, proyeksi keseimbangan neraca gas pada sejumlah wilayah yang sedang mengalami surplus produksi juga dapat menjadi kendala dalam upaya memenuhi pasokan gas untuk wilayah yang sedang mengalami defisit.
Untuk beberapa tahun ke depan, permintaan gas dari wilayah yang saat ini sedang mengalami surplus produksi diproyeksikan akan terus meningkat. Sementara produksi gas berdasarkan existing supply pada wilayah-wilayah tersebut justru diproyeksikan akan terus menurun.
Kebutuhan Pasokan LNG
Tren peningkatan konsumsi gas untuk domestik berpotensi menjadi faktor pendorong bagi masing-masing wilayah mengamankan dan memprioritaskan pasokan gas untuk kepentingan wilayahnya masing-masing. Jika sebelumnya alokasi produksi gas nasional lebih banyak untuk kepentingan ekspor, pada tahun 2024 sebesar 3.881 BBTUD atau sekitar 67 % produksi gas nasional digunakan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Dari aspek volume, pasokan LNG dapat menjadi solusi untuk menutup defisit pasokan gas dan menyelesaikan masalah keterbatasan ketersediaan infrastruktur gas. Produksi gas alam pada wilayah yang mengalami surplus dapat diubah menjadi LNG agar dapat lebih fleksibel untuk didistribusikan dan dimanfaatkan oleh wilayah lain yang sedang mengalami defisit pasokan gas.
Pemanfaatan LNG dapat menjadi salah satu opsi untuk memenuhi kebutuhan gas nasional, terutama untuk wilayah yang memiliki masalah keterbatasan infrastruktur dan/atau telah mengalami defisit neraca gas. Jika masing-masing wilayah yang mengalami surplus produksi nantinya memilih untuk mengamankan dan memprioritaskan pasokan gas yang mereka miliki untuk wilayahnya masing-masing, impor LNG dapat menjadi opsi bagi wilayah yang mengalami defisit pasokan gas.
Meskipun secara volume dapat menjadi solusi terhadap permasalahan defisit pasokan gas pada sejumlah wilayah, pemanfaatan LNG kemungkinan masih akan dihadapkan pada masalah harga dan daya beli pengguna gas. Selama ini konsumen atau pengguna gas di Indonesia sudah terbiasa dengan harga gas pipa yang relatif lebih murah. Data juga menunjukkan bahwa harga gas pipa di Indonesia tercatat sebagai salah satu yang termurah di Kawasan Asia Tenggara.
Berdasarkan data yang ada, saat ini harga gas pipa untuk penerima HGBT adalah sekitar 6,5 - 7 USD per MMBTU. Sementara, untuk harga gas pipa untuk non HGBT adalah sekitar 9-10 USD per MMBTU. Secara umum dan hampir dapat dipastikan harga gas yang menggunakan sumber dari pasokan LNG akan lebih mahal jika dibandingkan harga gas pipa non HGBT, apalagi jika dibandingkan dengan harga gas pipa untuk penerima HGBT.
Harga jual gas dalam satuan USD per MMBTU di dalam negeri yang bersumber dari LNG pada umumnya menggunakan formula: Slope 17,40 % *ICP + Alpha. Komponen alpha mencakup biaya pengapalan dan transportasi, biaya penyimpanan, biaya regasifikasi, biaya penyaluran (transmisi dan distribusi), margin niaga, dan komponen biaya lainnya yang ditetapkan sekitar 3,95 USD per MMBTU.
Berdasarkan formula harga tersebut, jika rata-rata harga minyak mentah Indonesia (ICP) sekitar 80 USD per barel, harga jual gas di dalam negeri yang bersumber dari LNG akan berada pada kisaran 17,87 USD per MMBTU. Jika rata-rata ICP meningkat menjadi 100 USD per barel, harga jual gas yang bersumber dari LNG akan meningkat menjadi kisaran 21,35 USD per MMBTU. Harga tersebut belum termasuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Mengingat sebagian besar harga gas pipa di Indonesia tidak diindekskan dengan harga minyak atau ICP maka semakin tinggi harga minyak, disparitas harga jual antara gas pipa dengan gas yang bersumber dari LNG akan semakin tinggi.
Jika rata-rata realisasi ICP mencapai 100 USD per barel, disparitas harga jual antara gas pipa non HGBT dengan gas yang bersumber dari LNG mencapai kisaran 11,35 - 12,35 USD per MMBTU. Disparitas harga akan semakin tinggi jika dibandingkan dengan harga jual gas pipa untuk HGBT yaitu antara 14,35 - 14,85 per MMBTU.
Jika rata-rata ICP mencapai kisaran 100 USD per barel, harga gas yang harus dibayar oleh pelanggan yang menggunakan gas dari sumber LNG dapat mencapai kisaran 137 % lebih mahal dibandingkan harga gas pipa non HGBT dan 228 % lebih mahal dari harga gas pipa untuk HGBT. Kondisi tersebut berpotensi akan terjadi untuk beberapa tahun ke depan sampai dengan sejumlah cadangan gas yang ditemukan dalam beberapa waktu terakhir telah berhasil diproduksikan secara komersial.
Terkait dengan tren peningkatan konsumsi gas di dalam negeri, sementara masih terdapat keterbatasan ketersediaan infrastruktur gas, lokasi antara sumber produksi dengan pengguna gas tidak sama, dan telah terjadi defisit pasokan gas pada sejumlah wilayah, maka pada dasarnya telah terdapat urgensi untuk memanfaatkan LNG. Pemanfaatan LNG akan memberikan manfaat yang lebih luas jika secara paralel juga dilakukan penataan pada kebijakan tata niaga gas di dalam negeri terutama
Kebijakan HGBT.
Kebijakan mempertahankan harga gas murah untuk pengguna tertentu sementara pengguna gas yang lain harus membayar sekitar 228 % lebih mahal, selain bermasalah dalam aspek keadilan juga berpotensi mengancam keberlangsungan bisnis hulu - hilir gas nasional.
Jika tidak segera terdapat perbaikan kebijakan, perubahan status Indonesia dari sebagai salah satu negara dengan harga gas termurah di Asia Tenggara menjadi negara dengan harga gas termahal di Asia Tenggara pada dasarnya hanya soal waktu.
(miq/miq)