Pertambangan Nikel di Raja Ampat dan Trilema Energi, Lingkungan dan Kesra

1 day ago 8

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Hebohnya kegiatan pertambangan nikel di Kabupaten Raja Ampat, Provinsi Papua Barat Daya, telah menyita perhatian publik hari-hari belakangan ini. Apalagi ketika pembicaraan soal ini mulai menyerempet ke soal-soal politik dari para aktor pengambil kebijakan yang memberikan izin kegiatan pertambangan nikel tersebut.

Terlepas dari kehebohan tersebut, faktanya saat ini nikel telah menjadi salah satu primadona kegiatan pertambangan mineral di Indonesia. Dengan memiiki cadangan nikel sebesar 42% dari cadangan nikel dunia, maka Indonesia merupakan negara terbesar pemilik cadangan nikel di dunia, bahkan saat ini Indonesia menjadi pemasok nikel terbesar di dunia (sebesar 50% dari produksi nikel di dunia).

Dengan posisi sebagai produsen nikel terbesar di dunia maka Indonesia memiliki peran yang sangat strategis dalam ekosistem mobil listrik dunia. Menurut catatan Nickel Institute, Statista, Kementerian ESDM, komponen nikel pada baterai mobil Listrik sebesar 80 % (delapan puluh persen) sedangkan sisanya berbahan Cobalt, Mangan atau Aluminium.

Kendaraan listrik berbasis baterai digadang-gadang sebagai solusi penting dalam rangka mengendalikan iklim (isu climate change) mengingat sektor transportasi merupakan salah satu sektor penyumbang karbon terbesar di semesta ini yang mau tidak mau harus dikendalikan.

Namun sayangnya sekalipun Indonesia sebagai pemilik cadangan nikel terbesar di dunia, negara ini tertinggal jauh dari China yang hanya memiliki 3,2 % cadangan nikel dunia dalam hal produksi (baca teknologi) mobil Listrik. Sehingga bila terjadi lonjakan pemakaian mobil listrik di dunia ini maka yang paling banyak menikmati "kue" tersebut adalah negara yang menguasai teknologi dan produksi mobil listrik, bukan negara pemilik sumber daya alam bernama nikel.

Memang Indonesia tidak sendirian dalam kasus semacam ini, karena Australia, Brazil dan Filipina yang masing-masing memiliki 18%, 12% dan 7% cadangan nikel tampaknya juga mengalami persoalan yang sama akibat terlambat untuk menguasai teknologi mobil listrik.

Maka dari itu bila ingin mendapatkan nilai tambah yang signifikan dari sumber daya alamnya, mau tidak mau harus menetapkan kebijakan hilirisasi yang tegas, khususnya dalam teknologi dan produksi baterai dan bila memungkinkan sekaligus dengan teknologi dan produksi kendaraan listrik di mana 40% komponennya berupa baterai.

Dalam berbagai tulisan, diskusi, workshop dan seminar sejak lebih dari 15 tahun yang lalu saya selalu mengingatkan bahwa transisi energi menuju clean energy tidaklah selalu berbanding lurus dengan turunnya kegiatan pertambangan migas dan sumber daya mineral lainnya, ataupun berkurangnya foot print perubahan lingkungan.

Sebab untuk mendukung energi bersih dari mobil listrik misalnya akan menambah penambangan nikel, cobalt, mangan, aluminium untuk baterai, serta produk plastik, serat karbon, karet sintetis dan lain-lain yang berasal dari migas ataupun batubara. Alhasil kegiatan penambangan (industri ekstraktif) menjadi bagian dari ekosistem kendaraan listrik guna mengurangi emisi karbon.

Sesungguhnya tidak hanya untuk mobil listrik, ketika kita bicara pembangkit listrik bertenaga energi baru dan terbarukan pun selalu membutuhkan bahan baku pendukung yang berasal dari kegiatan penambangan, baik itu besi, baja, aluminium, tembaga, cobalt, nikel, produk turunan migas, batubara dan lain-lain. Sehingga kegiatan penambangan kemungkinan akan tetap masif sekalipun pembakaran (combustion) yang menghasilkan karbon. akan sekuat tenaga dikendalikan.

Barangkali persoalan yang tetap akan menjadi tantangan besar ke depan adalah persoalan foot print yang berpotensi mengakibatkan kerusakan ekologis dan dampak sosial dari penambangan mineral yang (justru) sebenarnya di sisi lain dibutuhkan untuk mendukung clean energy. Hal ini tentu menjadi dilema.

Contohnya pada kasus penambangan nikel di Raja Ampat yang menimbulkan kekhawatiran kerusakan lingkungan terhadap sumber daya alam berupa keindahan alam yang luar biasa, serta kekayaan biodiversitas lautnya yang tidak ternilai harganya. Kalangan konservasionis tentu sangat menentang penambangan nikel di sana, namun sekaligus di sisi lain sangat mendukung kebijakan mobil listrik (apalagi untuk angkutan masal).

Dilema di kalangan masyarakat lokal pun tidak mungkin terelakkan. Tuntutan peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal dari sisi peningkatan pendapatan daerah untuk peningkatan pelayan publik serta peningkatan kesempatan kerja dan kesempatan berusaha akan menjadi pertanyaan penting yang harus terjawab.

Pelarangan kegiatan penambangan nikel di Raja Ampat oleh sebagian kalangan dianggap akan menjadikan potensi industri pariwisata semakin meningkat dan sekaligus mempertahankan kelestarian alam, sementara yang lain berpendapat bahwa penambangan nikel justru akan lebih mempercepat kesejahteraan masyarakat lokal. Jadi mana yang mana yang lebih benar? Bagaimana dengan Analisis Mengenai Dampak Sosial (AMDAS)?

Di media Disway 13 April 2024 berjudul "Format Ideal Tata Kelola Sumber Daya Alam" saya pernah menuliskan bahwa di Indonesia ini pemilik sumber daya alam yang sesungguhnya adalah rakyat. Selain itu yang paling berkepentingan dan paling terdampak bila ada sesuatu terhadap lingkungan juga rakyat, maka setiap memformat tata kelola sumber daya alam harus seoptimal mungkin melibatkan rakyat.

Selanjutnya di Harian Bisnis Indonesia tanggal 8 Juli 2024 saya juga pernah menulis artikel berjudul "Urgensi Kementerian Energi dan Lingkungan Hidup" yang intinya saya ingin mengatakan bahwa sektor energi adalah penentu keberhasilan pengendalian karbon sehingga "penggabungan" Kementerian Energi dengan Kementerian Lingkungan Hidup merupakan hal yang urgen untuk menyeimbangkan kebijakan di bidang energi, sumber daya alam dan lingkungan serta kesejahteraan rakyat.

Menurut informasi yang beredar, saat ini terdapat "9 Naga" korporasi pertambangan nikel di dunia yaitu: Tsingshan Holding, Ningbo Lygend, Nickel Asia, Vale Indonesia, Huayou Cobalt, Sumitomo, South 32, MMC Noriisk Nickel, dan Aneka Tambang. Mayoritas mereka beroperasi di Maluku Utara, Maluku, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Selatan.

Kemudian secara ekonomi, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia beberapa waktu lalu (tanggal 3 Juni 2025) menyampaikan bahwa keberadaan industri ekstraktif nikel Indonesia beserta turunannya pada tahun 2017 menyumbang sebesar 3,3 miliar dolar AS yang pada tahun 2024 dengan program hilirisasi yang dijalankan meroket menjadi 33,9 miliar dolar AS.

Maka guna memberikan keyakinan kepada rakyat Indonesia sebagai pemilik kedaulatan SDA (dan terutama kepada masyarakat lokal), angka-angka tersebut perlu segera dibanding dengan angka-angka kerugian lingkungan (bila ada) serta angka-angka peningkatan pelayanan umum (pendidikan, kesehatan), kesempatan kerja/ berusaha serta peningkatan pendapatan serta kesejahteraan Masyarakat (penurunan angka kemiskinan).

Caranya bagaimana? Menteri ESDM, Menteri LH, menteri terkait lainnya beserta gubernur dan bupati menjelaskan bersama-sama kepada publik, sehingga semangat Pasal 33 dan setidaknya juncto Pasal 28 H ayat (1) UUD 1945 dapat berjalan seiring dan sejalan.

Bila Pasal 33 UUD 1945 hampir semua pembaca ingat, namun mungkin Pasal 28 H ada yang lupa, saya ingin ingatkan lagi. Beginilah bunyinya: (1) Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.

Semoga tidak hanya angka-angka korupsi pengelolaan SDA saja yang senantiasa dibaca oleh rakyat Indonesia.


(miq/miq)

Read Entire Article
| | | |