Petani Brasil Berambisi Jadi "Surga" Kakao Dunia, RI Gigit Jari?

3 hours ago 3

Jakarta, CNBC Indonesia- Di tengah krisis pasokan kakao global, yang sempat menggila hingga menembus US$12.652 per ton, Brasil hadir membawa angin perubahan.

Seorang petani asal Brasil, Moisés Schmidt, tengah membangun proyek ambisius senilai US$300 juta untuk menciptakan perkebunan kakao terbesar di dunia.

Melansir dari Reuters, proyek ini berlokasi di Riachão das Neves, negara bagian Bahia, proyek ini mencakup lahan seluas 10.000 hektar lebih besar dari Manhattan dengan target produksi mencapai 1,6 juta ton kakao per tahun dalam satu dekade mendatang.

Schmidt menerapkan pendekatan pertanian industri dengan menanam 1.600 pohon kakao per hektar, jauh di atas rata-rata tradisional yang hanya 300 pohon. Seluruh sistem irigasi dan pemupukan dilakukan secara mekanis, meski panen masih dilakukan manual. Bibit unggul dikembangkan melalui seleksi positif sejak 2019, menghasilkan pohon dengan produktivitas hingga 3.000 kg/ha, sepuluh kali lipat dari rata-rata nasional Brasil.

Proyek ini menarik perhatian para raksasa industri cokelat. Cargill telah menjadi mitra pada fase awal seluas 400 hektar dan sedang menjajaki perluasan kerja sama. Barry Callebaut, melalui inisiatif Future Farming Initiative, juga menjalin kemitraan dengan kelompok tani lain di Bahia untuk mengembangkan perkebunan kakao seluas 5.000 hingga 7.000 hektar.

Di atas kertas, proyek Schmidt bisa jadi penyelamat pasar global dari krisis pasokan akibat cuaca ekstrem dan wabah tanaman di Pantai Gading dan Ghana. Schmidt menanam hingga 1.600 pohon per hektare lima kali lipat dari standar konvensional dengan irigasi dan pupuk yang seluruhnya otomatis. Bibit unggul dipilih sejak 2019, menghasilkan pohon dengan produktivitas mencapai 3.000 kg/ha, sepuluh kali lipat dari rata-rata nasional Brasil.

"Secara struktur biaya, saya tetap untung jika harga di US$4.000. Tapi saat harga di atas US$6.000, proyek ini jadi mesin uang," kata Schmidt dalam wawancaranya dengan Reuters.

Tapi pertanyaan besar mengemuka, akankah produksi skala industri ini menambah tekanan harga lebih jauh?

Koreksi harga kakao dimulai sejak 4 April, ketika harga harian mencapai US$9.335 namun ditutup melemah di US$8.512. Sejak itu, pasar menunjukkan gejala overbought, dan sentimen pasar mulai berbalik dari fear of missing out menjadi profit taking.

Harga sempat rebound pada 22 April ke level tertinggi US$9.329 setelah laporan cuaca kering di Afrika Barat, namun langsung dibanting ke bawah US$9.100 sehari setelahnya. Pola ini mengindikasikan pasar mulai memperhitungkan potensi lonjakan pasokan dari luar Afrika dengan Brasil berada di garis depan.

Data dari Barry Callebaut menunjukkan bahwa Brasil saat ini hanya menyumbang 6% dari total produksi global, jauh di bawah Pantai Gading yang menguasai lebih dari 40%. Namun dengan proyek-proyek seperti milik Schmidt dan inisiatif Future Farming dari Barry Callebaut yang menggandeng kelompok tani di Bahia untuk membuka hingga 7.000 hektare lahan, dominasi Afrika bisa terkikis dalam dekade ini.

Tak hanya Cargill yang ikut bermain sejak fase awal proyek Schmidt, beberapa perusahaan cokelat Eropa juga mulai melirik Brasil sebagai sumber kakao berkelanjutan, mengingat tingginya tekanan konsumen akan traceability dan zero-deforestation.

Namun tantangan tetap ada. Karina Peres Gramacho dari CEPLAC mengingatkan bahwa ketergantungan pada bibit homogen bisa menjadi bumerang. Brasil pernah mengalami epidemi Witches' Broom di akhir 1980-an yang meluluhlantakkan industrinya.

Dengan produksi Schmidt yang baru akan mencapai skala besar dalam 5-10 tahun mendatang, tekanan harga dari sisi suplai mungkin masih jauh. Tapi dari sisi psikologis, pasar mulai membaca sinyal bahwa "alternatif Afrika" sudah mulai nyata. Hal ini bisa memicu konsolidasi harga kakao dalam jangka menengah.

Dalam jangka pendek, potensi rebound tetap ada, terutama jika cuaca ekstrem kembali melanda Afrika. Namun tanpa dukungan fundamental baru, harga bisa terkonsolidasi di kisaran US$8.000-US$9.500.

Brasil telah menanam bibit perubahan. Jika berhasil, bukan hanya harga yang akan terguncang, tapi juga peta kekuatan industri cokelat dunia.

Bagaimana Indonesia?

Data Statistik untuk Kakao Indonesia 2023 mencatat bahwa luas perkebunan kakao di Indonesia terus menyusut dari 1,56 juta hektare pada 2019 menjadi hanya 1,39 juta hektare pada 2023.

Dampaknya, produksi kakao nasional juga ikut merosot dari 734,8 ribu ton menjadi hanya 632,12 ribu ton dalam periode yang sama. Tak hanya itu, produktivitas tanaman kakao pun menurun dari 705 kg/ha pada 2019 menjadi 640 kg/ha pada 2023.

Merosotnya produksi ini tentu berimbas pada rantai pasok industri. Di satu sisi, industri pengolahan kakao dalam negeri tetap berjalan, terutama untuk memenuhi permintaan ekspor. Namun, tanpa pasokan bahan baku yang cukup dari dalam negeri, ketergantungan terhadap impor makin tak terhindarkan.

Namun, di tengah harga yang cenderung menurun, Indonesia justru mencatat lonjakan impor kakao dan olahannya.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa pada Januari 2025, nilai impor kakao Indonesia mencapai US$0,3 miliar, melesat 119% secara bulanan (mtm) dibandingkan US$0,14 miliar pada Desember 2024. Dari jumlah ini, US$136,79 juta berasal dari Ekuador, berupa biji kakao mentah maupun sangrai.

Di sisi lain,ekspor Indonesia hanya naik tipis. Nilai ekspor kakao dan produk olahannya naik 3,4% secara bulanan, mencapai US$320,52 juta pada Januari 2025.

Negara tujuan utama ekspor adalah Amerika Serikat (US$71,66 juta), India (US$47,49 juta), dan China (US$35,34 juta), dengan produk unggulan seperti mentega kakao, lemak dan minyak kakao, bubuk kakao, dan pasta kakao.

Ekspor terbesar masih didominasi oleh produk olahan, bukan biji kakao. Artinya, bahan baku yang diproses di dalam negeri lebih banyak berasal dari luar negeri. Pada 2023, misalnya, ekspor mentega, lemak, dan minyak kakao mencapai 627,42 ribu ton, pasta kakao 174,52 ribu ton, dan bubuk kakao 283,33 ribu ton. Namun, ekspor biji kakao hanya 46,92 ribu ton, jauh lebih kecil dibandingkan volume bahan baku yang diolah.

CNBC Indonesia Research

(emb/emb)

Read Entire Article
| | | |