Jakarta, CNBC Indonesia - Presiden China Xi Jinping menyiapkan strategi baru untuk menghadapi Amerika Serikat (AS) dalam persaingan kecerdasan buatan (AI). Berbeda dengan AS yang menghabiskan miliaran dolar untuk mengejar Artificial General Intelligence (AGI), China fokus pada penerapan praktis AI yang langsung bisa digunakan.
Sejak peluncuran ChatGPT hampir tiga tahun lalu, raksasa teknologi AS seperti Google, Meta, dan OpenAI berlomba-lomba menciptakan AGI. Namun, Xi mendorong industri teknologi China untuk lebih berorientasi pada aplikasi dengan membangun alat murah dan efisien yang bisa meningkatkan produktivitas dan mudah dipasarkan.
Langkah ini diperkuat dengan pembentukan dana investasi AI senilai US$8,4 miliar pada Januari lalu, ditambah dukungan pemerintah daerah, bank milik negara, dan rencana pembangunan pusat data di berbagai kota dalam kampanye bertajuk "AI+."
Pekan ini, kabinet China menegaskan ambisi lebih luas lagi, yakni mempercepat integrasi AI ke dalam riset sains, pengembangan industri, dan berbagai sektor lain untuk memberdayakan pembangunan ekonomi secara menyeluruh pada 2030.
Selain itu, China lebih aktif mengadopsi model open-source yang bisa diunduh dan dimodifikasi secara gratis, sehingga memudahkan perusahaan lokal membangun bisnis dengan biaya rendah. Pendekatan ini turut mendorong penyebaran AI asal China ke pasar global, hingga membuat Silicon Valley ikut mengikuti jejak tersebut.
Strategi pragmatis ini sudah terlihat di Xiong'an, kota baru di selatan Beijing. Startup lokal DeepSeek menghadirkan model AI pertanian untuk membantu petani, meningkatkan akurasi cuaca, hingga mendukung kepolisian dalam analisis kasus darurat. AI juga dipakai untuk memilah ratusan ribu panggilan warga ke hotline pemerintah 12345 setiap harinya, demikian dikutip dari Wall Street Journal, Rabu (3/9/2025).
Sementara AS tengah terjebak pada ambisi AGI, yang realisasinya masih belum pasti, China memilih jalur implementasi nyata. Dengan keterbatasan akses chip canggih akibat sanksi dagang AS, strategi Xi dianggap sebagai cara cerdas untuk tetap kompetitif.
"Biarkan AS menanggung biaya eksplorasi teknologi. China bisa menjadi pengikut cepat atau pihak yang lebih fokus pada optimalisasi implementasi," kata Jeffrey Ding, profesor di George Washington University.
(fab/fab)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Elon Musk Mau Bunuh ChatGPT, Begini Taktik Barunya