Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah Indonesia berencana merevisi standar garis kemiskinan, seiring sudah semakin terbaruinya standar garis kemiskinan Bank Dunia atau World Bank.
Bahkan setiap risiko dan manfaat sudah dikalkulasi, seperti diungkapkan Anggota Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Arief Anshory Yusuf, yang juga merupakan Guru Besar FEB Unpad.
"Saat ini BPS dan kementerian terkait sedang dalam proses menyusun penyempurnaan metodologi garis kemiskinan. Harapannya, dalam waktu dekat kita akan memiliki acuan yang baru dan lebih mencerminkan realitas," kata Arief kepada CNBC Indonesia, Selasa (10/6/2025).
Sebagaimana diketahui, dalam dokumen pembaruan Poverty and Inequality Platform (PIP) edisi Juni 2025, Bank Dunia merevisi ke atas tiga lini garis kemiskinan setelah mengadopsi purchasing power parity (PPP) 2021 dari sebelumnya PPP 2017. Standar 2021 PPP telah dipublikasikan Bank Dunia dalam The International Comparison Program (ICP) edisi Mei 2025.
Dengan adopsi 2021 PPP, maka untuk garis kemiskinan internasional atau yang biasanya menjadi ukuran tingkat kemiskinan ekstrem dari semula US$ 2,15 2017 PPP menjadi US$ 3.00 2021 PPP.
Lalu, untuk garis kemiskinan negara berpendapatan menengah ke bawah dari US$ 3,65 menjadi US$ 4,20. Sementara itu, untuk garis kemiskinan negara berpendapatan menengah ke atas, seperti Indonesia di dalamnya, dari semula sebesar US$ 6,85 2017 PPP menjadi US$ 8,30 2021 PPP.
Arief menjelaskan dengan naiknya ambang kemiskinan ekstrem dari US$ 2,15 menjadi US$ 3,00 PPP per orang per hari itu, maka terjadi pelebaran garis kemiskinan dengan yang digunakan Indonesia saat ini.
Bila merujuk nilai tukar 1 US$ PPP per 2024 yang sebesar Rp 6.071/US$, Arief mengatakan, garis kemiskinan terbaru Bank Dunia nilainya menjadi Rp 18.213 per hari atau Rp 546.400 per bulan. Terjadi selisih cukup lebar dengan garis kemiskinan Indonesia saat ini sebesar Rp 595.000 per bulan (Rp 19.833 per hari).
"Dengan jarak kurang dari Rp 50.000 per bulan, ini memberi sinyal bahwa standar nasional kita terlalu rendah untuk negara berpendapatan menengah seperti Indonesia," ucap Arief.
Lebarnya acuan garis kemiskinan Indonesia dengan yang digunakan Bank Dunia itu kata Arief bisa memberikan sejumlah risiko, di antaranya ialah kebijakan berbasis data yang kurang mencerminkan realitas sosial. Kondisi ini bisa menyebabkan salah arah dalam penanganan kemiskinan.
"Lalu, legitimasi publik terhadap statistik kemiskinan bisa menurun, jika tak mencerminkan kenyataan hidup," paparnya.
Risiko lainnya ialah Indonesia makin tertinggal dengan negara lain dalam memperbarui angka garis kemiskinannya, sebab, standar hidup sendiri sudah berubah drastis sejak 1998 atau tahun terakhir di mana Indonesia melakukan pembaruan metode perhitungan garis kemiskinan. Malaysia saja menurutnya telah menyesuaikan garis kemiskinannya pada 2018, dan Vietnam 2021.
"Dan kenapa garis kemiskinan Bank Dunia naik dari US$ 2,15 ke US$ 3 karena 70% negara-negara low income (yang jadi acuan) merevisi ke atas garis kemiskinannya. Ini penting untuk dipahami bahwa menaikkan standar garis kemiskinan praktik yang wajar dan biasa saja," tegas Arief.
Risiko lainnya, bila Indonesia selalu menggunakan standar garis kemiskinan yang rendah dibanding standar internasional, bisa membuat pemerintah terlena mengira kemiskinan sudah terkendali. "Revisi garis kemiskinan adalah bentuk kejujuran nasional, bukan kelemahan," ungkap Arief.
Dalam proses revisi garis kemiskinan saat ini, Arief mengungkapkan idealnya pemerintah mengadopsi standar negara berpendapatan menengah bawah (LMIC) dari Bank Dunia, yakni US$ 4,20 PPP per orang per hari, atau sekitar Rp 765.000 per bulan. Angka ini lebih tinggi dari garis kemiskinan nasional saat ini (Rp 595.000), namun masih jauh lebih rendah dari standar negara menengah atas (UMIC) sebesar Rp 1,5 juta.
Dengan menjadikan Rp 765.000 sebagai garis kemiskinan nasional baru, maka ia akui angka kemiskinan Indonesia nantinya akan naik ke level kisaran 20% dari total penduduk.
Bank Dunia mencatat, dengan garis kemiskinan LMIC US$ 4,20 2021 PPP, tingkat kemiskinan di Indonesia sebesar 19,88% dari total penduduk pada 2024 yang sejumlah 285,1 juta atau setara 57,02 juta jiwa.
Sementara itu, BPS mencatat jumlah penduduk miskin di Indonesia per September 2024 sebanyak 24,06 juta orang atau setara 8,57% dari total populasi penduduk. Jumlah ini mempertimbangkan garis kemiskinan pada September 2024 tercatat sebesar Rp 595.242,00 per kapita per bulan.
Meski secara angka berpotensi naik drastis, tapi Arief menegaskan nantinya jumlah kemiskinan yang dimiliki pemerintah akan lebih mencerminkan kondisi sebenarnya jumlah penduduk miskin di Indonesia.
"Jadi kita tetap realistis dan bertahap. Angka kemiskinan akan naik ke sekitar 20%, tapi ini akan lebih mencerminkan kondisi sebenarnya di masyarakat dan membuka ruang kebijakan yang lebih akurat," papar Arief.
Potensi makin besarnya angka penduduk miskin itu ia akui selama ini menjadi salah satu hambatan pemerintah merevisi garis kemiskinan. Sebab, ada kekhawatiran politisasi terhadap lonjakan angka kemiskinan, dan anggapan bahwa anggaran perlindungan sosial akan meningkat tajam.
"Tapi dua hal ini dapat diatasi dengan edukasi publik yang baik dan pemisahan antara indikator statistik dan basis sasaran program sosial," kata Arief.
(haa/haa)
Saksikan video di bawah ini: