Jakarta, CNBC Indonesia - Kawasan Tanduk Afrika kembali berada di ambang perang. Hal ini terjadi setelah retorika antara Ethiopia dan negara tetangganya, Eritrea, meningkat secara tajam.
Meskipun kedua negara sempat mencapai kesepakatan damai pada 2018, yang mengantarkan Perdana Menteri Ethiopia Abiy Ahmed meraih Hadiah Nobel Perdamaian, hubungan mereka yang panjang dan penuh permusuhan kini menghadapi titik didih baru yang didorong oleh kebutuhan ekonomi dan ambisi regional.
Ethiopia, yang memiliki hampir 120 juta penduduk, menjadi negara pedalamansejak Eritrea memperoleh kemerdekaan pada 1991. Setelah perpecahan itu, hubungan bilateral yang awalnya menjanjikan kerja sama di pelabuhan Eritrea, Assab dan Massawa, segera merosot menjadi kecurigaan dan memicu perang batas dua tahun pada 1998-2000 yang menewaskan puluhan ribu orang.
Pecahnya aliansi strategis antara Ethiopia dan Eritrea dimulai setelah Perjanjian Pretoria pada November 2022. Meskipun perjanjian itu mengakhiri perang brutal Ethiopia melawan pemberontak Tigray (TPLF), perjanjian itu dicapai tanpa Eritrea di meja perundingan.
"Eritrea merasa dikhianati dan menganggap TPLF secara efektif diselamatkan oleh Perjanjian Pretoria," kata Michael Woldemariam, seorang profesor yang berfokus pada konflik di Tanduk Afrika, kepada Anadoly Agency, Rabu (26/11/2025).
Pemicu ketegangan terbesarnya adalah dorongan mendesak Ethiopia untuk mendapatkan kembali akses ke Laut Merah, khususnya melalui minatnya terhadap pelabuhan Eritrea, Assab. Pada Oktober 2023, PM Abiy Ahmed secara tegas mendeklarasikan akses ke Laut Merah sebagai "masalah eksistensial" bagi Ethiopia.
Abiy bahkan mengancam akan mengambil tindakan keras untuk membebaskan negaranya dari apa yang ia sebut sebagai "penjara geografis". Ethiopia memandang bahwa tanpa akses pelabuhan yang memadai, negara itu akan terus menghadapi tantangan ekonomi dan keamanan yang parah.
Namun, dorongan ini memperkuat kekhawatiran historis Eritrea, yang melihat dirinya pernah "dijajah secara paksa" oleh Ethiopia dan memandang upaya Addis Ababa untuk mengontrol pelabuhan sebagai ancaman terhadap kedaulatannya.
Analisis Michael Woldemariam menyimpulkan bahwa yang terjadi saat ini adalah "konfrontasi untuk keunggulan dan untuk dominasi antara dua negara yang paling relevan dan kuat di Tanduk Afrika".
"Kedua negara juga memiliki sejarah bentrokan terkait pengaruh regional dan tuduhan Eritrea mencampuri politik internal Ethiopia," tambahnya.
Di tengah situasi yang memburuk, PM Abiy Ahmed menyerukan mediasi internasional pada akhir Oktober. Woldemariam menegaskan bahwa mediasi adalah "satu-satunya strategi yang layak" untuk meredakan ketegangan saat ini.
"Keterlibatan eksternal dari kekuatan besar seperti AS, serta aktor regional utama seperti Mesir, Negara-negara Teluk, dan Turki, dianggap perlu untuk menggerakkan kedua pihak menuju dialog," tutur Woldemariam.
Woldemariam memperingatkan bahwa jalur perang bagi kedua belah pihak sangat berisiko, dan hasil dari potensi konflik yang melibatkan berbagai aktor bersenjata di Ethiopia utara "sangat sulit diprediksi".
"Ttujuan strategis kedua negara tidak mungkin tercapai melalui kekerasan, dan satu-satunya jalan yang logis adalah dialog dan konsultasi sambil menghormati penuh kedaulatan Eritrea."
(tps/luc)
[Gambas:Video CNBC]






























:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5319082/original/060228700_1755504247-pspr.jpg)









:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5193601/original/089204100_1745233045-Ilustrasi_-_Gerald_Vanenburg_di_Timnas_Indonesia_U-23_copy.jpg)





:strip_icc():format(jpeg):watermark(kly-media-production/assets/images/watermarks/bola/watermark-color-landscape-new.png,1125,20,0)/kly-media-production/medias/5299361/original/051300000_1753802514-WhatsApp_Image_2025-07-29_at_22.12.07.jpeg)

:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/4939096/original/049996300_1725747991-000_36FT7CN.jpg)